Rabu, 28 Maret 2012

Perbandingan Hindu & Buddha

AUM SWASTIASTU, ….

Saya kali ini mencoba untuk mencari perbandingan Hindu dengan Buddha. Adakah searah atau memang berlainan? Hal yang paling menghebohkan antar ke dua ajaran ini terletak pada:
  • Brahman itu kosong,
  • Atman pun juga dikatakan kosong oleh ajaran Buddha.
Secara referensi-referensi yang saya baca, di Buddha pun mengenal adanya dewa-dewa. Artinya ini membutktikan bahwa pandangan Rsi-Rsi Hindu juga ada yang dibenarkan oleh Buddha. Seperti diketahui bersama bahwa di Veda mengisyaratkan, semua yang menjelma adalah Brahman yang disebut Brahman Saguna .
Dalam Hal ini...dapat kita analogikan bahwa suatu penjelmaan adalah bagian dari Brahman. Dari sini dapat menimbulkan persepsi bahwa kesatuan penjelmaan-penjelmaan, dan baik yang belum menjelma adalah Brahman... Sehingga dapat diasumsikan bahwa Brahman sesungguhnya hanyalah sebuah alias.
Ketika Bahman adalah hanyalah sebuah alias, maka sesungguhnya Bahman adalah NOL. Inilah... yang dijadikan tolak pikir ajaran Buddha...
Namun di ajaran Buddha pun mengakui sebuah kesatuan tersebut. Artinya biarpun, Brahman itu dianggap NOL atau sekedar alias saja, tapi Beliau tetap mengakui bahwa itu ada. Ini spt gambaran, kata “MOBIL”, yang mana sih yang dikatakan MOBIL? Ban/roda nya kah? Body nya kah? Mesin nya kah? Atau apa? Tentu bagian-bagian tersebut bukanlah Mobil, dan tentunya pula, tidak ada suatu bagian tersebut yang beristilahnya.... yang paling dibutuhkan, paling mempunyai dampak, dan lain sebagainya.
Sehingga dipastikan pula bahwa Brahman yang bersadguna, tentu tidaklah Maha lagi. Sampai disini, mungkin kita dapat memahami bahwa pikiran Buddha (Sidarta Gautama), masih searah dengan Veda, bukan?

Sekarang timbul pertanyaan, kalaulah istilah alias itu harus ada, mengapa Sang Buddha harus mengatakan bahwa alias itu NOL atau Brahman itu NOL (mengarah ketidak mengakui) ?
Setelah saya analisa, maka kemungkinan yang terbesar, adalah guna memotong/mencegah terlaksananya ritual-ritual Nyadnya, yang disebabkan oleh adanya provokasi-provokasi yang mengatasnamakan nama Brahman.
Sementara di veda pun... kegiatan-kegiatan yang berupa penyembahan haruslah dilakukan atas kesadaran atau memahami untuk apa hal itu kita lakukan. Disini, saya melihat adanya kesamaan arah pula.
Lagipula... kalau kita telaah lebih dalam lagi..maka di Hindu/Veda pun... Istilah Nyadnya untuk Brahman, juga tiada... (Lihat Panca Nyadnya)... artinya sesungguhnya, Brahman pun juga tidak membutuhkan itu semua. Sehingga jelas bahwa (NAMO / Sujud / Sembah) / Nyadnya, sesungguhnya kegiatan yg dilakukan atas dasar menghargai atau mengerti akan manfaat dari suatu bagian Brahman yang telah ber-sadguna.

Mengenai Hal ini, jadi teringat pada kisah Sang Krisna, dimana Beliau pernah melakukan sabotase atau men-stop kegiatan penyembahan kepada Dewa Indra....
Dikisah tersebut terlihat bahwa lama-kelamaan dalam melakukaan Nyadnya terhadap Dewa Indra, masyarakat merasa terpaksa atau harus mengada-ada... sebab muncul pikiran... kalau kita tidak melakukan ritual itu, Dewa Indra akan marah...
Dan lama-kelamaan pun Dewa Indra juga menganggap itu sebuah keharusan, dan terjadilah pemanfaat kekuasan...

Ada 2 hal yang menarik, yang dapat kita petik dari kisah ini, yaitu
  1. Disaat Sang Krisna memenangkan aksinya.... maka mengapa Beliau kok tidak mengumumkan agar menghentikan kegiatan tersebut untuk slama-slamanya?
    Ini membuktikan bahwa sesungguhnya kegiatan Nyadnya boleh dilakukan, bahkan sangat dianjurkan, karena hal itu dapat mengkikis keegoan kita. Tapi dengan syarat, dalam melakukan Nyadnya harus dilandasi ke-iklas-an (atas kesadaran sendiri).

  2. Dan apabila kita di posisi Dewa Indra, maka kita tidak boleh mengambil keuntungan dengan cara memanfaatkan kekuasaan. Dimana kekuasaan/energi tersebut hanyalah bersifat sementara saja, atau kasarannya... Cuma pinjaman saja, dimana Brahman meminjamkan itu untuk merealisasikan tujuan murni kita.
Mungkin kisah seperti diatas, terulang lagi di masa Sang Buddha. Dimana kaum brahmana selalu memprovokator agar masyarakat terus-terusan melakukan Nyadnya. Sudah dapat dibayangkan, awalnya tentu kegiatan tersebut pastilah suatu pemikiran mulia, namun lama-kelamaan menjadi suatu paksaan. Melihat itu, sang Buddha melakukan hal yang sama seperti Krisna.... dan Hasilnya.... kaum brahmana pada waktu itu... keok alias kalah.

Kemudian kita lanjutkan dengan pandangan Buddha, bahwa ATMA itu juga NOL. Tolak pikir dari pandangan ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah...
  1. Apabila Brahman adalah NOL, maka ATMA pun akan menjadi NOL pula. Ini sesuai filsafat Veda, dimana Brahman dg Atma adalah sama.
  2. Atman juga dianggap sebagai alias. Artinya bersifat kesepakatan kata dalam menamai suatu object. Jadi bisa saja... alias/kata atman itu bisa disebutkan, dan bisa pula tidak bisa disebutkan.
    Hal ini seperti... bila sebuah lilin yang tadinya menyala... maka orang dapat menyatakan , Oh itu Api... tetapi ketika sebuah lilin tersebut dimatikan... maka orang tersebut tidak dapat lagi menyatakan , Oh itu Api. Namun walaupun begitu... tetap saja bukan berarti energi api itu lenyap. (ini sesuai dengan Veda maupun kajian ilmiah)

Tapi lagi-lagi timbul pertanyaan.... mengapa Sang Buddha harus mengatakan itu?

Maka setelah saya analisa, kemungkinan yang terbesar, adalah guna memotong rasa ke-AKU-an. Sebab seringkali ATMAN diindetikkan suatu personal yang berdiri sendiri. Dan ini lah yang membuat skat antara kita dengan Brahman. Jadi benarkah ATMAN anda itu milik anda sendiri? Bukankah seharusnya ATMAN anda itu adalah milik Brahman?

Tapi dilain sisi, Veda mendorong bahwa Kita/aku adalah Tuhan (SO HAM). Pandangan ini juga tidaklah salah... karena juga bisa untuk meniadakan skat antara kita dengan Brahman. Lagipula, saya berpendapat bahwa Tuhan disini bukanlah Brahman keseluruhan... Tuhan itu adalah Brahman yang bersadguna... disini dapat diartikan bahwa Tuhan adalah bagian Brahman yang mempunyai misi.

Jadi hemat saya, kedua pandangan tersebut pada intinya bertujuan sama...walau sepintas lalu terlihat bertolak belakang.

Ini sama saja halnya dengan adanya kalimat... ”Kamu adalah pemilik rumah ini”. Dimana dengan adanya kalimat ini, memicu kita agar menjaga rumah tersebut dengan sebaik & seiklas mungkin, karena kita punya rasa/gambaran bahwa rumah tersebut adalah rumah kita sendiri.
Namun lama-kelaman, kalimat itu dibuat kesempatan... bahwa kalau rumah tersebut adalah rumah kita sendiri, maka kita bebas dong menjual prabotannya, kita bebas dong merusak, dan lain sebagainya.

Akhirnya muncul kalimat lagi... “Kamu itu bukan pemilik rumah ini”. Dengan muncul kalimat itu, jelas ini merupakan penolakan atas kalimat pertama. Namun ini harus dilakukan (atau harus muncul kalimat tersebut), agar kebebasan yang bersifat negatif dapat dikikis. Baik tho tujuannya?
Akan tetapi, lama-kelamaan, hal ini juga menimbulkan rasa ketidakpedulian... karena toh ini...numpang saja. Ngapain harus saya harus melakukannya dengan sebaik & seiklas mungkin ???

Sehingga memunculkan lagi... kalimat ... “Kalau kamu tidak mengurus rumah ini, kamu akan dipukuli”. Dengan demikian akan menimbulkan sedikit kepedulian... tapi akhirnya rasa keiklasannya tidak ada sama sekali.

Seperti analogi diatas, maka jelas... statement/kalimat hanyalah sebuah sarana untuk menggetarkan kesadaran kita untuk menuju ke sebuah makna yang sama. Dan apabila itu sesuai dengan tingkat kesadaran kita, maka kita akan menganggap statement itu benar... sebaliknya begitu... apabila kalimat itu tidak sesuai dengan tingkat kesadaran kita, atau kurang bisa menggetarkan kesadaran kita, maka kita akan menganggap statement itu kurang benar dan bahkan salah.

Kemudian ada hal lagi di Buddha, yaitu tentang Nibana... Sedangkan di veda, mengatakan hal itu sebagai Moksa. Banyak sekali orang memahami bahwa moksa itu bersatunya Atman dengan Brahman. Pepahaman itu... tidaklah salah... namun setelah saya baca-baca, maka Moksa itu adalah pencapaian tujuan murni kita. Dimana dengan tercapainya tujuan kita secara benar, maka otomatis, kemauan yang awalnya dapat membuat bersadguna, akan menjadi lenyap pula... dan pada akhirnya Atman bisa menyatu pada Brahman....sehingga atman pada saat ini, akan menjadi nirguna kembali.

Saya akan memberi suatu analogi kecil... ada sekelompok orang...katakan lah sebuah kecamatan. Di kecamatan itu timbul suatu kesadaran untuk membangun pendopo untuk tempat bermusyawarah. Dengan adanya kesadaran itu... terbentuklah team kerja... dimana orang-orang di team kerja itu... tentu memiliki kesadaran yang sama... dan tentu juga, orang-orang tersebut sudah tau resiko-resiko yang akan dihadapi....
Proyek itu diperkirakan berlangsung 3 bulan. Sehingga hari pertama... dengan kesadaran yang masih fresh... mulailah kerja... menjelang malam, orang-orang di team kerja itu...beristiharat... tidur...
Esoknya... mereka bangun untuk kerja lagi... menjelang malam lagi, orang-orang di team kerja itu...beristiharat lagi... tidur lagi... begitulah hari demi hari terlewati
Pada hari ke 8... rupanya mulai ada orang di team itu...lupa atau terpaksa melakukan hal itu demi sesuatu hal... Pada hari ke 9,.... ada orang lagi di team itu... yang mulai ogah2an karena menurutnya ada oknum yg sperti itu... namun karena dia tidak berwewenang dalam menegurnya... akhirnya dia pun bisanya berdiam diri.
Pada hari selanjutnya... kian tatanan semakin kacau... tumpang tindih... amburadul... berantakan... semua orang di team itu pada lupa akan tujuan semula... Sehingga hari demi hari terlewati dengan tiada kemajuan sama sekali...
Melihat seperti itu... ada sekelompok orang yang diluar team itu (tapi masih 1 kecamatan)...yang tergerak untuk menagih hasil kerja proyek tersebut... mulai sindiran-sindiran...hingga aksi-aksi hukuman terjadilah...
Ada salah satu orang di team itu ..telah sadar...tapi dia bingung.... dia berserah diri dan mau mengakhiri job tersebut. Tapi apakah semudah itu? Tidak... karena dia akan terus dituntut bekerja untuk menyelesaikan proyek itu... Karena kesadaran itu pulalah yang memaksa ia harus bekerja hingga tercapainya tujuan awal.

Dari analogi sederhana diatas, kita dapat melihat, awalnya terjadinya kerja... dalam kerja... dibutuhkan peputaran kala, dimana ini bisa dianggap perputaran reinkarnasi. Sehingga selama tujuan awal belum terwujud... maka perputaran itu akan terus berlanjut... Dan perputaran itu...tidak selalu akan membawa progress maju... bisa-bisa justru membawa mundur... atau diam ditempat.
Kemudian...bila itu sdh terlalu jauh menyimpang... maka ada bagian yang awalnya tidak bersadguna (nirguna)... menjadi bersadguna... demi untuk meluruskan tujuan semula.
Dan yang terakhir... ternyata memutus peputaran reinkarnasi, bukanlah hal yg mudah. Karena ketika kita sadar akan tujuan semula... maka kesadaran inilah yg justru memaksa kita untuk terus berkerja hingga finish...
Dan setelah Finish... maka keberadaan kita sudah tidak berguna lagi... jadilah kita bernirguna...alias tidak terikat oleh apapun yang menyangkut kerja kita tadi.

Sehingga dapat disimpulkan hakekat hidup (bersadguna) adalah kerja untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Karena ini merupakan Kerja besar, tentu... dalam pengerjaannya, kita ditugasi per modul. Dimana seolah-olah, kita ditutup... sehingga terkadang kita tidak mengerti untuk apa modul ini, saya kerjakan... dan terkadang modul yang kita kerjakan sekarang ini, terasa tidak berarti apa-apa. Penutupan ini sebenarnya untuk bertujuan agar kita fokus dalam kerja. Tetapi Penutupan ini, bisa juga membuat kita terlena dan akhirnya lupa.

Dan hal ini, di Veda... mengenalkan kita pada konsep Catur Prusa Arta... dimana Dharma (tugas wajib), dapat menimbulkan DANA & KAMA. Sedangkan DANA & KAMA itu bertujuan untuk Menyokong Dharma itu sendiri. Perputaran itulah yang dapat membawa kita menuju penyelesaian tugas kita, alias Moksa.

Hal ini kalau dianalogikan... seperti halnya, kita mandi guna membersihkan debu-debu ditubuh... maka inti Dharma (tugas wajib) kita, saat itu adalah menyiramkan air ke tubuh kita.
Sehingga dari itu, air harus kita dapatkan, atau dengan lain... kegiatan Dharma ini memaksa kita untuk mencari/butuh/tergantung dengan si Air.
Air disini dapat kita sebut sebagai DANA (materi). Setelah air ada, maka dilanjutkan dengan, menyiramkan air tersebut ke tubuh kita. Hal ini menyebabkan kesegaran yang kita dapatkan. Artinya KAMA (kesenangan) pun diperoleh.
Sampai sini... kita baru melakukan 1 kali putaran saja (1 kali gayung siram)... sementara namanya orang mandi biasanya melakukannya beberapa kali gayung.
Sehingga DANA & KAMA yang kita rasakan tadi, menyebabkan kita rela melakukan kegiataan itu lagi... terjadi 1 kali gayung siram lagi.
Disini artinya DANA & KAMA bisa mendorong Dharma itu kembali dilakukan lagi.
Kejadian itu terus berulang-ulang, hingga kita mencapai titik finish... Dimana secara otomatis, kita pun merasa jenuh terhadap DANA & KAMA yang kita peroleh, sehingga tak ada pendorong lagi agar Dharma itu kembali diadakan lagi.

Melihat anologi, tentu anda akan memahami arti kerja. Dan Sang Buddha pun juga mengatakan... janganlah kamu melakukan sesuatu yang tidak mengenakan, demi menuju kebebasan abadi. Jadi bila kita tidak mampu puasa... ya jangan dilakukan... sebab itu akan sia-sia saja. Lakukan Dharma anda sesuai dengan kemampuan anda. Toh para Rsi kita, memberikan banyak alternatif.... Namun sering kali... karena terlalu banyaknya alternatif, akhirnya dicari celah untuk mencari sesuatu yg enak-enaknya saja...

Sekali lagi, artikel ini saya buat berdasarkan analisa saya sendiri... entah ini cocokmilogi, atau apalah... Tapi begitulah yang saya tangkap.


AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.