Jumat, 27 April 2012

Memahami Purusa & Kehidupan

AUM SWASTIASTU, ….

Ada pertanyaan-pertanyaan, yang cukup menganjal...dari sejak saya kecil... yaitu Mengapa sih, Brahman kok menciptakan alam semesta ini? Kan tentunya beliau tau akan efek-efeknya? Dan seolah-olah, beliau ya... sengaja mau menjebak, atau kasarannya ya... main-main lah.
Pandangan-pandangan itu terjadi... bila kita membayangkan bahwa Brahman itu sebuah sosok yang Maha... Sehingga seperti itulah... persis seperti ajaran-ajaran Abramik. Dimana ada sebuah (satu) sosok yang menyebabkan segala kejadian.


"purnamadah purnamidam, purnaat purnamudachyate, purnasya purnaamadaya, purnameva vashishyate."

(Ishavasya Upanishad)

Menurut analisa saya.. yang berasal dari Veda (Salah satu sloka Upanisad diatas)... jelas yang menciptakan sesungguhnya bukanlah Brahman keseluruhan, namun hanya suatu bagian Brahman saja yang punya kehendak untuk menciptakan alam semesta ini. Bagian itulah yang sering kita sebut dengan “Purusa” (yang dapat diidentikkan dengan Brahma)... Jadi sebenarnya Purusa inilah... yang boleh saya sebut sebagai “Provokator”, yang menyebabkan bagian-bagian Brahman lainnya ikut bergetar. Namun sekali lagi... tidak keseluruhan bagian Brahman yang ikut tergetar.. Dan Bagian Brahman yang tidak ikut terprovokasi/tergetar... jauh lebih banyak/luas, ketimbang Bagian Brahman yang ikut terprovokasi/tergetar oleh ulah si Purusa tadi.
Bagian Brahman yang tidak ikut terprovokasi/tergetar, itu lebih dikenal sebagai Brahman Nirguna. Sedang... Purusa dan bagian Brahman yang ikut terprovokasi/tergetar, itu lebih dikenal sebagai Brahman Saguna.

Dari penjelasan diatas kalau kita analogikan seperti begini: Keseluruhan warga Indonesia, kita identikkan seperti Brahman (keseluruhan bagian Brahman). Kemudian dari keseluruhan warga Indonesia itu,... ada seseorang atau beberapa orang yang berhasrat untuk membuat SuperMall.
Nah... seseorang atau beberapa orang itulah kalau kita analogikan seperti Purusa (Brahma). Akibat ulah seseorang atau beberapa orang itu, menyebabkan ada seseorang atau beberapa orang lagi yang ikut tergerak untuk merespon hasrat si Purusa. Jadi Responnya...ada yang pro, ada yang kontra.
Misal yang pro: Yang mendanai, Yang Memberi IMB, para tukang supermall, pengunjung supermall yang baik, dll.
Sedangkan yang kontra: pengunjung supermall yang tidak baik, dll.

Dengan penjelasan dan analogi di atas, tentu kita bisa berpikir, Apakah Brahman itu menjebak? Tentu tidak to... Tapi apakah si Purusa itu bersalah? Tentu kita ya... tidak bisa menyalahkannya 100%, karena tentu dia punya alasan-alasan kuat untuk mewujudkan hasrat itu. Yang pantas disalahkan itu sesungguhnya ialah diri kita sendiri. Karena...kenapa kita ikut terprovokasi/tergetar. Kalau kita tidak ikut terprovokasi/tergetar, Ya... tentunya kita tidak berada disini ... Ya to? Namun... kita ya... tidak bisa 100% menyalahkan keputusan kita sendiri... tergeraknya kita... tentu juga dikarenakan oleh hasrat luhur/mulia.

Untuk lebih pahamnya...saya akan melanjutkan cerita analogi di atas..... Dalam keadaan damai, ada beberapa orang/warga Indonesia...yang punya ide untuk membangun SuperMall, karena dipikirnya dengan adanya SuperMall.... tentunya akan membuat warga Indonesia akan mudah berbelanja, serta bangunan SuperMall ini akan bisa menunjukkan bahwa Indonesia itu benar-benar exist, hebat, dll.
Sehingga beberapa orang/warga Indonesia tersebut... berusaha mencari orang-orang kuat dalam dana (ini layaknya membangunkan Wisnu). Setelah dapat, beberapa orang itu, juga mencari orang-orang yang terpandang dalam tujuan memberi/mempermudah dalam IMB (ini layaknya meminta restu Siwa).
Dari sini, terlihat bahwa sudah ada banyak orang yang ikut tergetar/tergerak. Dan orang-orang yang tergerak pada tahap ini, masihlah orang-orang yang hebat... Sehingga kelompok ini masih bisa disebut dengan Purasa.

Setelah semuanya OK (artian dana & ijin sdh dikantongi)... mulai dengan mencari arstitektur, tukang-tukang, bahan-bahan, dan lain-lain... Artinya dapat dikatakan bahwa Purusa telah menggetarkan Prakerti & Atma-Atma lainnya, dalam rangka merealisasikan hasratnya.
Tahap demi tahap... puncak dari evolusi itu, akhirnya jadilah bangunan SuperMall. Pastinya dalam bangunan SuperMall itu, membutuhkan satpam, spg, dll... Sehingga menciptakan lowongan-lowongan/jabatan-jabatan.... Tertariknya warga indonesia lainnya untuk mengisi jabatan-jabatan itu. Artinya tergetar lagi bagian Brahman yang lain...

Kemudian... ada warga indonesia lainnya, yang tertarik menjadi pengunjung. Mereka merealisasikan keinginan-keinginan berbelanjanya. Hari demi hari, pengunjung kian banyak. Suatu saat... ada warga indonesia lainnya, yang tertarik menjadi pengunjung yang iseng.... sebab dipikirnya bangunan SuperMall ini, kok banyak pengunjung yang terjebak... Akhirnya ia membuat kegaduhan-kegaduhan kecil.

Tentu hasrat/pemikiran si pengunjung yang iseng itu, adalah hasrat/pemikiran yang luhur juga. Sehingga adanya pembiaran-pembiaran terhadap ulahnya... Artinya ulah-ulahnya masih berada di koridor hukum. Melihat adanya pembiaran-pembiaran seperti itu, tergetar lagi warga Indonesia lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih extrim. Waktu demi waktu, yang melakukan tindakan-tindakan yang lebih extrim/jahat, kian berkembang juga. Sehingga harus ada yang menegakkan lagi rule-rule yang ada di SuperMall itu. Akhirnya pengunjung yang jahat, harus diganjar, bahkan dianggap musuh oleh kebanyakan pengunjung SuperMall ini.

Menarik bukan ceritanya??? Dari cerita diatas... Maka ketika ada pertanyaan: Siapa yang membangun SuperMall itu? Tentu jawabnya, ya... Warga Indonesia (seperti kita menyebutnya dengan Brahman). Sementara kita ketahui bersama.... bahwa Yang membangun (Dari Ide, kekuatan-kekuatan yang menjadikan, hingga menjaga kelangsungannya) SuperMall, bukanlah keseluruhan warga Indonesia. Ya kan?

Akan tetapi yang harus kita pahami bersama, yaitu: bila kita membuat onar di SuperMall itu, sama halnya kita tidak menghargai, keseluruhan Warga Indonesia. Sedang jika kita menjadi sesuatu yang Pro, di SuperMall itu, sama halnya kita menghargai, keseluruhan Warga Indonesia. Ini artinya...Bila kita sudah merasa terprovokasi (masuk ke dalam bangunan Supermall itu)... maka salah satu jalan yang terbaik adalah mengkuti Rule-rulenya...dan Bila perlu... jadilah sesuatu yang Pro di Supermall itu.

Begitu juga kalau kita sudah jenuh di Supermall itu.... maka ya tetep sama saja... anda harus tetap mengikuti Rule-rulenya untuk keluar dari SuperMall... Jangan sampai... kita lakukan memecahkan kacanya... terus kabur... Hal itu akan percuma saja... karena itu membikin bagian warga Indonesia yang lainnya akan tergerak, untuk menangkap kita... dan memaksa kita masuk ke SuperMall itu, untuk meminta pertanggungjawaban kita. Ketika pada sesi ini... masuknya kita lagi ke SuperMall itu, jelas sudah berbau hukuman.

Ya seperti itu lah... salah satu cara memahami alam semesta yang kita huni sekarang ini. Sehingga mungkin kita harus introspeksi lebih dalam lagi... Apa tujuan saya di alam ini? Sadar mau gak sadar, Diakui atau gak diakui... maka kita telah ikut tergetar/terprovokasi. Dan kalau kita sudah bergetar, maka untuk apa getaran saya ini? Jelas getaran anda akan mempengaruhi bagian Brahman lainnya. Bila kita sudah tau begitu... Tentunya getaran-getaran yang kita ciptakan...harusnya menciptakan getaran yang baik... sehingga bagian Brahman lainnya yang ikut tergetar... juga akan bergetar sesuai hasrat Luhurnya.

Semoga analisa saya ini ... Bisa menjawab pertanyaan yang menjadi ganjalan-ganjalan dalam memahami kehidupan ini. Dan saya rasa... pertanyaan ini sering dilontarkan oleh para yang digolongkan ke Atheis (walaupun secara prinsipel saya kurang setuju dengan istilah Atheis). Namun saya rasa... pemikiran orang-orang semacam Atheis itu... ditimbulkan karena Pencitraan Brahman yang seolah-olah satu Sosok yang... sesuka dirinya sendiri... Sementara Di Veda... Brahman itu bukanlah Sosok, tidak terpikiran, dll. Karena secara analisa saya... Brahman merupakan keseluruhan bagian yang kekal, baik itu bersifat CETANA, maupun ACETANA. Dan kita pun ... termasuk dari bagian Brahman. Tiada sesuatu yang bukan termasuk bagian Brahman... Seluruh nya di dalam Brahman.


AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.

Read more.....

Minggu, 15 April 2012

Memahami Konsep-Konsep Hindu

AUM SWASTIASTU, ….

Mungkin yang saya alami, pernah juga dialami kebanyakan orang. Di Hindu Indonesia, begitu populernya kata Siwa... Hingga muncullah kata Paramasiwa, Sadasiwa, Iswara (dimana bisa diindentikkan dengan Siwa), Dewa Siwa sendiri, Mahadewa (juga bisa diindentikkan dengan Siwa),... ah pokoknya macam2 deh.... Dan akhirnya ..timbullah pertanyaan, Betulkah Siwa merupakan yang Ter...

Setelah saya lihat-lihat (baca) dari beberapa referensi... ternyata Kata “Siwa”...bukan hanya merujuk ke sebuah sosok, melainkan spt kata yang punya makna lebih dari satu arti. Mungkin anda masih bingung..Oke..saya coba beri analogi... seperti kata “Bisa”... kata ini bisa berarti Racun, dapat juga berarti, mampu/dapat.
Lalu apa arti kata Siwa? Siwa, kalau dianggap kata kerja, maka dapat berarti, melebur, merusak, memberi restu, Mengakhiri, Menyelesaikan, Menjadikan. Dan Kalau dianggap kata Sifat, maka dapat berarti, malas, Bodoh, dll (atau Tamas). Dan Kalau dianggap kata Benda, maka dapat berarti, pelebur, perusak, pemberi restu, Yang mengakhiri, Yang menyelesaikan, Yang Menjadikan, udara/angin/gas. Dan kalau disimbolkan dalam bentuk warna, maka Siwa disimbolkan dengan warna Hitam.

Dengan Uraian diatas, tentu... anda bisa menelaah arti sebuah kalimat yang menggunakan kata Siwa. Melihat...begitu komplex nya arti Siwa, maka menjadikan Siwa adalah sesuatu yang pantas menduduki posisi tertinggi... Namun sekali lagi.. Siwa belum bisa dijadikan sesuatu untuk menggambarkan Brahman secara komplit. Dari sini apa sdh paham?

OK.. kita lanjutkan lagi, dengan Tri Purusa. Di konsep Tri(Tiga) Purusa(Jiwa), mengenal istilah-istilah, Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Setelah saya analisa... maka konsep ini sebenarnya untuk mengambarkan status dari suatu bagian (jiwa) dari Brahman. Jadi ada suatu bagian dari Brahman, yang berstatus Paramasiwa, ada pula yang berstatus Sadasiwa, dan yang terakhir, ada pula, suatu bagian dari Brahman, berstatus Siwa.

Paramasiwa... Kalau diartikan sekali, maka bisa diartikan “Parama(Sumber) nya Siwa”, atau “Parama(Paling Berkuasa) dari siwa”. Dari Sini...dapat dibayangkan... bahwa ketika... suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang masih berstatus Paramasiwa.... maka Jiwa tersebut belum mempunyai pola apa-apa (dalam artian, kita sulit untuk menamai pola tersebut)... dimana ini sering kita sebut dengan, Brahman Nirguna. Jadi Paramasiwa itu sama dengan, Brahman Nirguna, atau setara juga dengan Paramatma, atau setara juga dengan Parameswara. Dan kalau ini disimbolkan dengan tempat/loka… maka Paramasiwa itu berlokasi di Swah Loka.

Kemudian... Sadasiwa. Ketika... suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang sudah berstatus Sadasiwa.... maka Jiwa tersebut telah mempunyai pola. Sehingga para rsi pun dapat mendefinisikan ke Tri(3) Murti(Pola/wujud), yaitu ada yang berpola sebagai Brahma, ada pula yang berpola sebagai Wisnu, dan ada pula yang berpola sebagai Siwa. Oleh karena itu... Sadasiwa itu sama dengan, Brahman Saguna... Dimana dengan pola-pola yang sedemikan rupa, yang masing-masing sudah memiliki kapasitas energi yang berbeda-beda..... maka tak jarang juga orang-orang bijak... melukiskan Sadasiwa dengan kata “Wisnu”. Dan kalau ini disimbolkan dengan tempat/loka… maka Sadasiwa itu berlokasi di Bwah Loka.

Seperti kata “Siwa... maka kata “Wisnu” pun juga memiliki arti banyak juga. Antara lain: bila itu dianggap kerja, maka dapat diartikan, memelihara, memberi kekuatan/energi/kekayaan. Dan Kalau dianggap kata Sifat, maka dapat berarti, Tenang, lembut, indah, dll (atau Satwam). Dan Kalau dianggap kata Benda, maka dapat berarti, pemelihara, pemberi kekuatan/energi/kekayaan, air. Dan kalau disimbolkan dalam bentuk warna, maka Wisnu disimbolkan dengan warna Putih.

Sedangkan kata "Brahma", bila itu dianggap kerja, maka dapat diartikan, memicu, mencipta. Dan Kalau dianggap kata Sifat, maka dapat berarti, Ambisius, cepat, lincah, dll (atau Rajas). Dan Kalau dianggap kata Benda, maka dapat berarti, pemicu, pencipta, api. Dan kalau disimbolkan dalam bentuk warna, maka Brahma disimbolkan dengan warna Merah.

Kembali ke Tri Purusa... dimana yang terakhir adalah Siwa. Siwa disini ... ya adalah kita-kita ini yang menempati Bhur Loka (Bumi/planet2 yg lebih dominan berunsur tanah). Jadi dengan kata lain... suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang mengisi Bhur loka, merupakan Siwa. Sehingga tak jarang... orang-orang bijak... melukiskan kita-kita ini, sebagai titisan/penjelmaan dari Siwa. Karena kita bisa menjadi sang executor (front-end) dari kehendak Brahman. Dan kita pun bisa menjadi sang pemicu, sehingga tak jarang pula, orang-orang bijak... menyebut status ini, dengan sebutan "Brahma Siwa".

Dari Uraian diatas... kiranya cukup jelas...perbedaannya, Siwa dalam kontex Tri Murti, dengan Siwa dalam kontex Tri Purusa. Lalu ada juga istilah... Tri Kona, dimana saya rasa hal itu serupa seperti Tri Murti. Namun perbedaannya terletak... Kalau Tri Murti, lebih diarahkan pada penggambaran pola aktifitas Brahman. Sedangkan kalau pada Tri kona, lebih diarahkan pada alur (recycle) kehidupan/kejadian. Dimana Tri Kona meliputi, Lahir/Muncul (utpeti, yang bisa dilukiskan dengan kata “Brahma”), Hidup/Bertahan (stiti, yang bisa dilukiskan dengan kata “Wisnu”), dan Mati\Lenyap (Pralina, yang bisa dilukiskan dengan kata “Siwa”).

Jadi sekali lagi cara memahami Tri Purusa, persis seperti Catur Warna, dimana kalau Catur Warna itu untuk mengambarkan status dari bagian penduduk di suatu daerah. Jadi misalnya, sebagian Warga negara Indonesia, ada yang berstatus Brahmana, ada pula yang berstatus Kstaria, ada pula yang berstatus Wasya, dan ada pula yang berstatus Sudra. Dari sini... bila sesorang yang telanjur telah menjadi Sudra... bukan berarti selama nya ia akan tetap menduduki sudra terus, dan sebegitu sebaliknya.... bila sesorang yang telanjur telah menjadi Brahmana... bukan berarti selama nya ia akan tetap menduduki Bramana terus.
Persis seperti Tri Purusa... dimana ketika ada suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang telah terlanjur berstatus siwa... maka bukan berarti selama nya Jiwa tersebut akan tetap berstatus siwa terus. Dan sebegitu sebaliknya....
Sehingga Naik atau turunnya status dari jiwa itu.... ya dikarenakan oleh kehendaknya sendiri. Kalau saya lebih suka dengan istilah... karena ikut terprovokasi... sehingga menyebabkan jiwa itu tergerak. Coba kalau tidak ikut terprovokasi... ya tentu disitu-situ aja. Hal ini kalau dianalogikan, seperti Demo... kalau anda sudah terprovokasi... maka anda akan rela ikut demo itu. Kalau gak... ya anda bisa duduk santai dirumah... gak ikut teriak-teriak... Ya kan?

Oleh karena itu... oleh orang-orang bijak... Sang Buddha itu mengajarkan sifat-sifat Siwa, dimana orang dituntut untuk malas. Malas disini... lebih mengarah pada tidak mudahnya untuk terprovokasi... Hal ini bagaikan orang yang malas (mau tidur), meskipun dia ditawari makanan enak pun... maka ketika itu dianggapnya tidak urgent(penting) sekali... maka ia tidak tertarik sama sekali. Dan melanjutkan tidurnya.

Melihat seluruh keterangan diatas, tentu anda akan berpikir bahwa Brahma, Wisnu, Siwa bukanlah sosok to... sehingga memunculkan pikiran bahwa Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa adalah sosok fiktif to...
Pikiran tersebut ya kuranglah tepat juga... Kini perhatikan analogi dibawah ini:

Tentu kita memahami kata “Dokter”... Lalu kita juga pernah melihat juga ...Pak/Bu Dokter. Sekarang kita korelasikan kata-kata diatas. Mengapa ada orang (Bapak/ibu) dapat gelar “Dokter”? Dan ketika seseorang telah mendapatkan gelar “Dokter”, apakah ia dapat dipersamakan/merupakan “Dokter” yang Absolut?
Kata “Dokter” saja, ...maka saya anggap sebagai sesuatu yang Absolut. Dimana Dokter, bisa melayani (mengobati) seluruh orang yang sakit (pasien). Namun ketika itu... Menjadi Pak/Bu Dokter, maka bisakah seperti “Dokter” yang Absolut? Tentu jawabnya.... Ya tidak mungkin.
Tapi apakah ini berarti, Pak/Bu Dokter itu telah gagal menjadi “Dokter”? Jawabnya... ya tidak juga... Dia tetap bisa membutikan bahwa dirinya adalah dokter... Ia bisa melayani (mengobati) orang yang sakit (pasien). Namun sekali lagi, kalau dituntut untuk melayani (mengobati) keseluruhan orang yang sakit ( = keabsolutan)... ya tentu tidak akan bisa. Ya khan???

Seperti itu juga... antara kata “Brahma” dengan “Dewa Brahma”, antara kata “Wisnu” dengan “Dewa Wisnu”, antara kata “Siwa” dengan “Dewa Siwa”. Jadi apakah Dewa Siwa itu memang ada? Jawabnya...Ya, emang ada. Kalau gak ada...Bagaimana orang menggambarkannya? Tentang percaya atau gak... itu sama halnya.. Bagaimana cara anda memastikan, kalau Ibu RA Kartini itu memang ada (non-fiktif), wong anda, saya, dan mungkin semua orang ...ya tidak pernah ketemu langsung?? Tentu jawabnya.. kepercayaan itu diperoleh dari info-info yang berasal dari orang-orang yang bisa kita percaya ( memiliki authorisasi).
Sama tho... tentang Dewa-dewa... hal itu bukan diceritakan oleh kalangan hindu saja... tapi Buddha pun (yang notabene, menentang pandangan-pandangan kaum Brahmana) saja, juga mengakui keberadaan dewa-dewa. Artinya Sosok seperti itu, memang ada... Entah bagaimana cara mereka melihatnya.
Ya... Seperti... Bagaimana anda menyakini kata orang-orang Spiritual, dimana di Pohon jambu ada pocong? Padahal anda sendiri, gak melihatnya... Sehingga sekali lagi, ini menyangkut kreditibilatasi orang yang menyampaikannya.

Kembali lagi ke uraian diatas, ... Apakah dewa Brahma adalah Brahma yang Absolut? Apakah dewa Wisnu adalah Wisnu yang Absolut? Apakah dewa Siwa adalah Siwa yang Absolut? Tentu jawabnya.... Ya tidak mungkin.
Namun ... apakah Dewa Siwa gagal menjadi Siwa? Jawabnya... ya tidak juga... Kalau emang gagal... maka makluk itu tentu tidak bakalan akan mendapatkan (gelar) pengakuan seperti itu donk... Ya tho...
Kemudian... tentu anda akan bertanya lagi... ketika Dewa Siwa bukanlah Siwa yang absolut, maka mengapa sosok(penggambaran)nya, bisa dijadikan media untuk mengakses Siwa yang absolut?
Hal ini.. sama halnya seperti, kita butuh Dokter... maka langkah awal ..ya mencari penjelmaan dari Dokter, dimana penjelmaannya adalah Pak/Bu Dokter. Apakah tidak begitu... logikanya?
Dan kita tentu akan lebih sreg... bila kita bisa ketemu langsung (tatap muka) dengan Pak/Bu Dokter. Kemudian dengan mengetahui atribut-atribut Pak/Bu Dokter (seperti Seragam putih, membawa stateskop, dll), maka paling tidak kita lebih sreg... dalam memohon bantuannya dalam bidang kedokteran.

Jadi jelas sudah... mengapa arca dewa siwa, bisa dijadikan media untuk mengakses Siwa yang absolut. Akan tetapi bila anda sudah mengenal Siwa yang absolut, tentu media-media untuk mengakses itu, bisa kita lewati/skip. Artian kata... arca-arca itu ya tidaklah harus ada/dipakai.

Mungkin terbesit lagi, dipikiran anda... meskipun kita telah mengenal/mampu mengakses, Siwa yang absolut, Namun tetap saja Siwa... belum bisa dijadikan sesuatu untuk menggambarkan Brahman secara komplit. Jadi Ngapain kita mengakses, Siwa yang absolut? Jawabnya... terletak pada kata "Keabsolutan" itu... jadi apapun pola Brahman, entah itu... pola Brahma, pola Wisnu, atau pola Siwa... Saat kita telah mengenal/mampu mengakses, salah satu saja dari ketiga pola diatas secara Totalitas (absolut), maka artinya kita pun telah mengenal/menyatu dengan Brahman.
Lagipula dengan adanya pilihan pola-pola energi Brahman... tentu ini sebuah kebebasan kita, dalam memilih/memanfaatkan pola energi Brahman yang pas buat kita, dalam menuju keabsolutan.


AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.

Read more.....

Sabtu, 07 April 2012

Purana & Ithiasa

AUM SWASTIASTU, ….

Purana sering kali diartikan sebagai cerita dongeng/fiktif. Pandangan itu tidak salah juga, namun kalau itu dianggap suatu khayalan semata, maka itu suatu pandangan yang salah. Untuk itu, saya akan mencoba menyusun cerita yang semodel purana. Simaklah, cerita dibawah ini:

Konon, Sang Programmer, entah mengapa... dia terjaga..dia menginginkan untuk menciptakan sesuatu untuk membantu para manusia di alam ini. Kemudian untuk mewujudkan keinginan itu, dia melakukan pertapaan yang sangat disiplin... sehingga seluruh kekuatan pikirannya terkumpul, yang menyebabkan lahir lah seorang wanita cantik, sexi, yang dinamakan Ms Word.
Dengan kecantikan “Ms Word”... para manusia di jagad ini, sangat menyukainya. Apalagi sifat nya “Ms Word”, begitu sangat lembut, begitu ramah (friend userly). Pokoknya Tanpa cacat sedikit pun, dan ini membuat Sang programmer merasa tersanjung dan agak besar kepala, karena bisa melahirkan putri yang secantik “Ms Word”.
Lama kelamaan Sang programmer juga ingin merasakan kecantikkan anaknya, Akhirnya dia mengawini anaknya sendiri. Dia bersenggamanya, dia menikmati setiap bagian-bagian “Ms Word”. Dan Pada akhirnya dari persenggamaan itu lahirnya putra yang bernama “Document”.

Asyik bukan ceritanya? Di cerita itu…Seolah-olah ada Bapak yang menggauli anak nya sendiri, hingga anaknya hamil. Tapi Bukan itu, tujuan dari cerita (kejadian dari balik isi cerita) itu… melainkan itu adalah sebuah pengambaran suatu kejadian, dimana ada programmer yang mampu melahirkan karya/software, dan software tersebut, dia pakai sendiri untuk mendokument-kan pikiran2/keinginan2-nya yang akan ia curahkan lagi, pada selanjutnya.

Dari gambaran itu, tentu anda sudah bisa menempatkan posisi purana itu dimana. Sehingga kalau purana dianggap suatu khayalan semata, maka itu jelas salah. Seperti diatas, kejadian yang dilukiskan itu memang terjadi (dalam artian kejadian dari balik cerita), bahkan nama-namanya itu juga memang ada, namun kalau di katakan, apa seperti itu kejadiannya (atau persis seperti itu)... Tentu ya...gak bisa, alias fiktif. Jadi kesimpulannya ialah, Purana merupakan cerita yang menerangkan pola aktifitas Brahman, yang dikemas dengan cara, membuat seperti sosok, mencari persamaan-persamaan model, dll.

Sebelum kita menelaah isi purana-purana, ijikan dulu saya membahas tentang Ithiasa. Ithiasa lebih mengacu ke sejarah. Dalam artian, nama-nama tokohnya betul-betul ada, kronologisnya ya memang itu adanya, namun sekali lagi ...juga masih ada sisipan mencari persamaan-persamaan model. Untuk lebih jelasnya, simaklah kalimat berikut ini:

“Susilo Bambang Yudhiono (SBY), semasa mudanya Ia masuk ke Kawah candradimuka”.

Kalimat tersebut, kalau kita analisis... SBY itu memang ada, dan semasa mudanya, ia memang bersekolah di angkatan. Dimana sekolah angkatan itu laksana Kawah candradimuka. Sehingga kronologi yang dialami oleh SBY, memang begitu adanya.

Jadi kesimpulannya dari Ithiasa adalah cerita yang menerangkan sejarah, yang dikemas dengan cara, mencari persamaan-persamaan model, dll.

Jelas kan? Sekarang, kita coba menelaah beberapa bagian purana. Sehingga kita dapat mengerti... apa sih yang dikandung.

Purana tentang penciptaan alam semesta
Mungkin anda sudah tau semua, dengan cerita ini, dimana Ringkasan ceritanya seperti ini:
Entah mengapa Brahma terbangun/terjaga, yang selanjutnya dirinya melihat Wisnu yg sedang tidur diatas air. Hingga terjadi dialog, dan akhirnya Brahma lahir dari pusarnya Wisnu. Dengan begitu, Brahma memperoleh kekuatan dalam mencipta. Kemudian datanglah Siwa, yang merestui Brahma, dan kelak akan menjadi anaknya Brahma. Selanjutnya Brahma melahirkan Siwa.

Dengan membaca cerita itu, jelas otak kita merasa aneh... seolah laki-laki bisa saling melahirkan, dan berbagai hal...yang makin membuat makin terasa seperti kyahalan semata. Memang dulu, saya mengakui seperti anda semua... Namun setelah saya cari-cari referensi, maka saya menemukan teknik-teknik dalam mengartikan itu.

Ingat... Tujuan purana itu sesungguhnya mempermudah orang dalam mencerna aktifitas-aktifitas Brahman. Sehingga dijadikan seperti itu...

OK... Sekarang kita artikan cerita purana diatas. Ada kalimat “Brahma terjaga”... artinya adanya keinginan / adanya ide awal. Kemudian, “Brahma bertemu Wisnu”, artinya ide tersebut mencari sesuatu kekuatan, untuk merealisasikannya.
Selanjutnya, “Datang Siwa untuk merestui Brahma”, artinya setelah ide tersebut mendapatkan kekuatan untuk merealisasikannya, maka harus adanya Yang menyetujui/Yang merestuinya.
Dan Akhirnya, “Brahma melahirkan Siwa”, artinya setelah semuanya terjadi, akan menyebabkan sifat2 tamas (sifat Siva), dan akhirnya memicu kehancuran lagi.

Dengan begitu... jelas bahwa Brahma, Wisnu, Siwa...sesungguhnya pada kisah diatas, bukanlah sosok, melainkan pola aktifitas Brahman. Jadi ada aktifitas dari Brahman, yang sifatnya Rajas (aktif), shg adanya ide-ide/keinginan-keinginan. Dimana aktifitas-aktifitas semacam ini, di Veda menyebutnya Brahma.
Ada pula aktifitas dari Brahman, yang sifatnya Satwam (tenang), atau bisa dikatakan sebagai sumber kekuatan. Dimana aktifitas-aktifitas (pola-pola) semacam ini, di Veda menyebutnya Wisnu.
Dan yang terakhir, ada aktifitas dari Brahman, yang sifatnya Tamas (malas/lambat/bodoh), atau bisa dianggap sebagai finishing atau yang menyetujui/yang merestui. Dimana aktifitas-aktifitas (pola-pola) semacam ini, di Veda menyebutnya Siwa.

Jadi Jelas sudah... Di purana itu bisa juga dipahami sebagai alur recycle. Dimana Dari ketenangan (Yang identik dengan Wisnu), muncullah ide (Yang identik dengan Brahma), dari ide... setelah terwujud...lahirnya sifat-sifat kemalasan/kebododohan (tamas, Yang identik dengan Siwa)...hingga terjadilah perang (saling menghancurkan). Setelah perang (saling menghancurkan), pasti muncullah ketenangan lagi. .... Begitulah peputaran itu terjadi... Kenapa itu terus terjadi? Jawabnya sungguh simple... sebab Brahman tidak pernah mati... Jadi Ya wajar... bila Beliau terus beraktifitas.


Saya lanjutkan lagi... Di purana-purana...kadangkala..kita jumpai cerita yg mengarah persenggamaan. Hmmm Senggama...??? Apa sih senggama itu? Untuk melukiskan apa sih?

Senggama itu, sebuah persamaan model yang pas, dalam menerangkan kerja tanpa pamrih. Kok Bisa? Tujuan dari Senggama itu sebenarnya...kan punya anak. Namun ketika kita belum mendapatkan anak, maka kita pun tidak menyesal, kita tidak pernah merasa itu sia-sia... Dalam melakukannya pun kita merasa puas/senang.
Jadi ketika kita melakukan, kerja yang tanpa pamrih, kita pun senang dalam mengerjakannya. Maka kerja kita bisa disimbolkan dengan senggama.

Kemudian, ada statement "Saat Kalarahu menelan sang bulan, itulah mengapa terjadi gerhana Bulan". Wah... terkesan ada makluk yg bernama "Kalarahu" yang mampu menelan bulan. Namun... sekali lagi, Kalarayu disini, bukanlah sosok, melainkan... Kala = waktu, rahu = kegelapan. Jadi kalimat diatas, sebenarnya mau menerangkan bahwa gerhana bulan terjadi kalau bulan ditelan oleh kegelapan.

Kiranya cukup sekian dulu, Dan kalau ada waktu...saya akan sambung lagi. Oh Ya... sebelum saya tutup dengan panganjali... Saya berikan Statement “Kita tidak bisa menyatu dengan Brahman, tanpa Siwa”.
Coba anda artikan statement itu.... Kalau anda menganggap saya aliran siwa... mungkin anda masih teracuni, atau belum memahami artikel ini. Sebenarnya statement itu menyatakan bahwa “Kita tidak bisa menyatu dengan Brahman, tanpa Sang pelebur”. Siapa yang bisa membuat kita meninggal,... entah itu virus,... entah itu pembunuh, ...entah apa kek... itulah sang Pelebur/Siwa, atau ada bagian Brahman yang melakukan itu.

Lalu ada contoh statement lagi “Tanpa Siwa, kita tidak bisa mewujudkan/menyelesaikan sesuatu”. Statement itu berati bahwa “Tanpa Yang menyetujui/Yang merestui, kita tidak akan bisa mewujudkan sesuatu”. Atau bisa berarti “Tanpa Sang Finishing, kita tidak bisa menyelesaikan sesuatu”.
Mari kita uji kebenarannya, Misal: kita mau mewujudkan/menyelesaikan banguan rumah. Maka kita tidak mungkin bisa membangun rumah tanpa persetujuan dari pemerintah. Artinya pemerintah bisa kita anggap sebagai Siwa.
Kemudian... Ketika kita membangun rumah...pasti kita akan menjumpai event finishing... kalau tidak... maka rumah itu belum bisa dianggap jadi donk. Artinya event finishing, juga bisa kita anggap sebagai Siwa.

Dengan contoh-contoh statement diatas, Mudah²an anda akan lebih bijak dalam memahami kata-kata.


AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.

Read more.....

Rabu, 28 Maret 2012

Perbandingan Hindu & Buddha

AUM SWASTIASTU, ….

Saya kali ini mencoba untuk mencari perbandingan Hindu dengan Buddha. Adakah searah atau memang berlainan? Hal yang paling menghebohkan antar ke dua ajaran ini terletak pada:
  • Brahman itu kosong,
  • Atman pun juga dikatakan kosong oleh ajaran Buddha.
Secara referensi-referensi yang saya baca, di Buddha pun mengenal adanya dewa-dewa. Artinya ini membutktikan bahwa pandangan Rsi-Rsi Hindu juga ada yang dibenarkan oleh Buddha. Seperti diketahui bersama bahwa di Veda mengisyaratkan, semua yang menjelma adalah Brahman yang disebut Brahman Saguna .
Dalam Hal ini...dapat kita analogikan bahwa suatu penjelmaan adalah bagian dari Brahman. Dari sini dapat menimbulkan persepsi bahwa kesatuan penjelmaan-penjelmaan, dan baik yang belum menjelma adalah Brahman... Sehingga dapat diasumsikan bahwa Brahman sesungguhnya hanyalah sebuah alias.
Ketika Bahman adalah hanyalah sebuah alias, maka sesungguhnya Bahman adalah NOL. Inilah... yang dijadikan tolak pikir ajaran Buddha...
Namun di ajaran Buddha pun mengakui sebuah kesatuan tersebut. Artinya biarpun, Brahman itu dianggap NOL atau sekedar alias saja, tapi Beliau tetap mengakui bahwa itu ada. Ini spt gambaran, kata “MOBIL”, yang mana sih yang dikatakan MOBIL? Ban/roda nya kah? Body nya kah? Mesin nya kah? Atau apa? Tentu bagian-bagian tersebut bukanlah Mobil, dan tentunya pula, tidak ada suatu bagian tersebut yang beristilahnya.... yang paling dibutuhkan, paling mempunyai dampak, dan lain sebagainya.
Sehingga dipastikan pula bahwa Brahman yang bersadguna, tentu tidaklah Maha lagi. Sampai disini, mungkin kita dapat memahami bahwa pikiran Buddha (Sidarta Gautama), masih searah dengan Veda, bukan?

Sekarang timbul pertanyaan, kalaulah istilah alias itu harus ada, mengapa Sang Buddha harus mengatakan bahwa alias itu NOL atau Brahman itu NOL (mengarah ketidak mengakui) ?
Setelah saya analisa, maka kemungkinan yang terbesar, adalah guna memotong/mencegah terlaksananya ritual-ritual Nyadnya, yang disebabkan oleh adanya provokasi-provokasi yang mengatasnamakan nama Brahman.
Sementara di veda pun... kegiatan-kegiatan yang berupa penyembahan haruslah dilakukan atas kesadaran atau memahami untuk apa hal itu kita lakukan. Disini, saya melihat adanya kesamaan arah pula.
Lagipula... kalau kita telaah lebih dalam lagi..maka di Hindu/Veda pun... Istilah Nyadnya untuk Brahman, juga tiada... (Lihat Panca Nyadnya)... artinya sesungguhnya, Brahman pun juga tidak membutuhkan itu semua. Sehingga jelas bahwa (NAMO / Sujud / Sembah) / Nyadnya, sesungguhnya kegiatan yg dilakukan atas dasar menghargai atau mengerti akan manfaat dari suatu bagian Brahman yang telah ber-sadguna.

Mengenai Hal ini, jadi teringat pada kisah Sang Krisna, dimana Beliau pernah melakukan sabotase atau men-stop kegiatan penyembahan kepada Dewa Indra....
Dikisah tersebut terlihat bahwa lama-kelamaan dalam melakukaan Nyadnya terhadap Dewa Indra, masyarakat merasa terpaksa atau harus mengada-ada... sebab muncul pikiran... kalau kita tidak melakukan ritual itu, Dewa Indra akan marah...
Dan lama-kelamaan pun Dewa Indra juga menganggap itu sebuah keharusan, dan terjadilah pemanfaat kekuasan...

Ada 2 hal yang menarik, yang dapat kita petik dari kisah ini, yaitu
  1. Disaat Sang Krisna memenangkan aksinya.... maka mengapa Beliau kok tidak mengumumkan agar menghentikan kegiatan tersebut untuk slama-slamanya?
    Ini membuktikan bahwa sesungguhnya kegiatan Nyadnya boleh dilakukan, bahkan sangat dianjurkan, karena hal itu dapat mengkikis keegoan kita. Tapi dengan syarat, dalam melakukan Nyadnya harus dilandasi ke-iklas-an (atas kesadaran sendiri).

  2. Dan apabila kita di posisi Dewa Indra, maka kita tidak boleh mengambil keuntungan dengan cara memanfaatkan kekuasaan. Dimana kekuasaan/energi tersebut hanyalah bersifat sementara saja, atau kasarannya... Cuma pinjaman saja, dimana Brahman meminjamkan itu untuk merealisasikan tujuan murni kita.
Mungkin kisah seperti diatas, terulang lagi di masa Sang Buddha. Dimana kaum brahmana selalu memprovokator agar masyarakat terus-terusan melakukan Nyadnya. Sudah dapat dibayangkan, awalnya tentu kegiatan tersebut pastilah suatu pemikiran mulia, namun lama-kelamaan menjadi suatu paksaan. Melihat itu, sang Buddha melakukan hal yang sama seperti Krisna.... dan Hasilnya.... kaum brahmana pada waktu itu... keok alias kalah.

Kemudian kita lanjutkan dengan pandangan Buddha, bahwa ATMA itu juga NOL. Tolak pikir dari pandangan ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah...
  1. Apabila Brahman adalah NOL, maka ATMA pun akan menjadi NOL pula. Ini sesuai filsafat Veda, dimana Brahman dg Atma adalah sama.
  2. Atman juga dianggap sebagai alias. Artinya bersifat kesepakatan kata dalam menamai suatu object. Jadi bisa saja... alias/kata atman itu bisa disebutkan, dan bisa pula tidak bisa disebutkan.
    Hal ini seperti... bila sebuah lilin yang tadinya menyala... maka orang dapat menyatakan , Oh itu Api... tetapi ketika sebuah lilin tersebut dimatikan... maka orang tersebut tidak dapat lagi menyatakan , Oh itu Api. Namun walaupun begitu... tetap saja bukan berarti energi api itu lenyap. (ini sesuai dengan Veda maupun kajian ilmiah)

Tapi lagi-lagi timbul pertanyaan.... mengapa Sang Buddha harus mengatakan itu?

Maka setelah saya analisa, kemungkinan yang terbesar, adalah guna memotong rasa ke-AKU-an. Sebab seringkali ATMAN diindetikkan suatu personal yang berdiri sendiri. Dan ini lah yang membuat skat antara kita dengan Brahman. Jadi benarkah ATMAN anda itu milik anda sendiri? Bukankah seharusnya ATMAN anda itu adalah milik Brahman?

Tapi dilain sisi, Veda mendorong bahwa Kita/aku adalah Tuhan (SO HAM). Pandangan ini juga tidaklah salah... karena juga bisa untuk meniadakan skat antara kita dengan Brahman. Lagipula, saya berpendapat bahwa Tuhan disini bukanlah Brahman keseluruhan... Tuhan itu adalah Brahman yang bersadguna... disini dapat diartikan bahwa Tuhan adalah bagian Brahman yang mempunyai misi.

Jadi hemat saya, kedua pandangan tersebut pada intinya bertujuan sama...walau sepintas lalu terlihat bertolak belakang.

Ini sama saja halnya dengan adanya kalimat... ”Kamu adalah pemilik rumah ini”. Dimana dengan adanya kalimat ini, memicu kita agar menjaga rumah tersebut dengan sebaik & seiklas mungkin, karena kita punya rasa/gambaran bahwa rumah tersebut adalah rumah kita sendiri.
Namun lama-kelaman, kalimat itu dibuat kesempatan... bahwa kalau rumah tersebut adalah rumah kita sendiri, maka kita bebas dong menjual prabotannya, kita bebas dong merusak, dan lain sebagainya.

Akhirnya muncul kalimat lagi... “Kamu itu bukan pemilik rumah ini”. Dengan muncul kalimat itu, jelas ini merupakan penolakan atas kalimat pertama. Namun ini harus dilakukan (atau harus muncul kalimat tersebut), agar kebebasan yang bersifat negatif dapat dikikis. Baik tho tujuannya?
Akan tetapi, lama-kelamaan, hal ini juga menimbulkan rasa ketidakpedulian... karena toh ini...numpang saja. Ngapain harus saya harus melakukannya dengan sebaik & seiklas mungkin ???

Sehingga memunculkan lagi... kalimat ... “Kalau kamu tidak mengurus rumah ini, kamu akan dipukuli”. Dengan demikian akan menimbulkan sedikit kepedulian... tapi akhirnya rasa keiklasannya tidak ada sama sekali.

Seperti analogi diatas, maka jelas... statement/kalimat hanyalah sebuah sarana untuk menggetarkan kesadaran kita untuk menuju ke sebuah makna yang sama. Dan apabila itu sesuai dengan tingkat kesadaran kita, maka kita akan menganggap statement itu benar... sebaliknya begitu... apabila kalimat itu tidak sesuai dengan tingkat kesadaran kita, atau kurang bisa menggetarkan kesadaran kita, maka kita akan menganggap statement itu kurang benar dan bahkan salah.

Kemudian ada hal lagi di Buddha, yaitu tentang Nibana... Sedangkan di veda, mengatakan hal itu sebagai Moksa. Banyak sekali orang memahami bahwa moksa itu bersatunya Atman dengan Brahman. Pepahaman itu... tidaklah salah... namun setelah saya baca-baca, maka Moksa itu adalah pencapaian tujuan murni kita. Dimana dengan tercapainya tujuan kita secara benar, maka otomatis, kemauan yang awalnya dapat membuat bersadguna, akan menjadi lenyap pula... dan pada akhirnya Atman bisa menyatu pada Brahman....sehingga atman pada saat ini, akan menjadi nirguna kembali.

Saya akan memberi suatu analogi kecil... ada sekelompok orang...katakan lah sebuah kecamatan. Di kecamatan itu timbul suatu kesadaran untuk membangun pendopo untuk tempat bermusyawarah. Dengan adanya kesadaran itu... terbentuklah team kerja... dimana orang-orang di team kerja itu... tentu memiliki kesadaran yang sama... dan tentu juga, orang-orang tersebut sudah tau resiko-resiko yang akan dihadapi....
Proyek itu diperkirakan berlangsung 3 bulan. Sehingga hari pertama... dengan kesadaran yang masih fresh... mulailah kerja... menjelang malam, orang-orang di team kerja itu...beristiharat... tidur...
Esoknya... mereka bangun untuk kerja lagi... menjelang malam lagi, orang-orang di team kerja itu...beristiharat lagi... tidur lagi... begitulah hari demi hari terlewati
Pada hari ke 8... rupanya mulai ada orang di team itu...lupa atau terpaksa melakukan hal itu demi sesuatu hal... Pada hari ke 9,.... ada orang lagi di team itu... yang mulai ogah2an karena menurutnya ada oknum yg sperti itu... namun karena dia tidak berwewenang dalam menegurnya... akhirnya dia pun bisanya berdiam diri.
Pada hari selanjutnya... kian tatanan semakin kacau... tumpang tindih... amburadul... berantakan... semua orang di team itu pada lupa akan tujuan semula... Sehingga hari demi hari terlewati dengan tiada kemajuan sama sekali...
Melihat seperti itu... ada sekelompok orang yang diluar team itu (tapi masih 1 kecamatan)...yang tergerak untuk menagih hasil kerja proyek tersebut... mulai sindiran-sindiran...hingga aksi-aksi hukuman terjadilah...
Ada salah satu orang di team itu ..telah sadar...tapi dia bingung.... dia berserah diri dan mau mengakhiri job tersebut. Tapi apakah semudah itu? Tidak... karena dia akan terus dituntut bekerja untuk menyelesaikan proyek itu... Karena kesadaran itu pulalah yang memaksa ia harus bekerja hingga tercapainya tujuan awal.

Dari analogi sederhana diatas, kita dapat melihat, awalnya terjadinya kerja... dalam kerja... dibutuhkan peputaran kala, dimana ini bisa dianggap perputaran reinkarnasi. Sehingga selama tujuan awal belum terwujud... maka perputaran itu akan terus berlanjut... Dan perputaran itu...tidak selalu akan membawa progress maju... bisa-bisa justru membawa mundur... atau diam ditempat.
Kemudian...bila itu sdh terlalu jauh menyimpang... maka ada bagian yang awalnya tidak bersadguna (nirguna)... menjadi bersadguna... demi untuk meluruskan tujuan semula.
Dan yang terakhir... ternyata memutus peputaran reinkarnasi, bukanlah hal yg mudah. Karena ketika kita sadar akan tujuan semula... maka kesadaran inilah yg justru memaksa kita untuk terus berkerja hingga finish...
Dan setelah Finish... maka keberadaan kita sudah tidak berguna lagi... jadilah kita bernirguna...alias tidak terikat oleh apapun yang menyangkut kerja kita tadi.

Sehingga dapat disimpulkan hakekat hidup (bersadguna) adalah kerja untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Karena ini merupakan Kerja besar, tentu... dalam pengerjaannya, kita ditugasi per modul. Dimana seolah-olah, kita ditutup... sehingga terkadang kita tidak mengerti untuk apa modul ini, saya kerjakan... dan terkadang modul yang kita kerjakan sekarang ini, terasa tidak berarti apa-apa. Penutupan ini sebenarnya untuk bertujuan agar kita fokus dalam kerja. Tetapi Penutupan ini, bisa juga membuat kita terlena dan akhirnya lupa.

Dan hal ini, di Veda... mengenalkan kita pada konsep Catur Prusa Arta... dimana Dharma (tugas wajib), dapat menimbulkan DANA & KAMA. Sedangkan DANA & KAMA itu bertujuan untuk Menyokong Dharma itu sendiri. Perputaran itulah yang dapat membawa kita menuju penyelesaian tugas kita, alias Moksa.

Hal ini kalau dianalogikan... seperti halnya, kita mandi guna membersihkan debu-debu ditubuh... maka inti Dharma (tugas wajib) kita, saat itu adalah menyiramkan air ke tubuh kita.
Sehingga dari itu, air harus kita dapatkan, atau dengan lain... kegiatan Dharma ini memaksa kita untuk mencari/butuh/tergantung dengan si Air.
Air disini dapat kita sebut sebagai DANA (materi). Setelah air ada, maka dilanjutkan dengan, menyiramkan air tersebut ke tubuh kita. Hal ini menyebabkan kesegaran yang kita dapatkan. Artinya KAMA (kesenangan) pun diperoleh.
Sampai sini... kita baru melakukan 1 kali putaran saja (1 kali gayung siram)... sementara namanya orang mandi biasanya melakukannya beberapa kali gayung.
Sehingga DANA & KAMA yang kita rasakan tadi, menyebabkan kita rela melakukan kegiataan itu lagi... terjadi 1 kali gayung siram lagi.
Disini artinya DANA & KAMA bisa mendorong Dharma itu kembali dilakukan lagi.
Kejadian itu terus berulang-ulang, hingga kita mencapai titik finish... Dimana secara otomatis, kita pun merasa jenuh terhadap DANA & KAMA yang kita peroleh, sehingga tak ada pendorong lagi agar Dharma itu kembali diadakan lagi.

Melihat anologi, tentu anda akan memahami arti kerja. Dan Sang Buddha pun juga mengatakan... janganlah kamu melakukan sesuatu yang tidak mengenakan, demi menuju kebebasan abadi. Jadi bila kita tidak mampu puasa... ya jangan dilakukan... sebab itu akan sia-sia saja. Lakukan Dharma anda sesuai dengan kemampuan anda. Toh para Rsi kita, memberikan banyak alternatif.... Namun sering kali... karena terlalu banyaknya alternatif, akhirnya dicari celah untuk mencari sesuatu yg enak-enaknya saja...

Sekali lagi, artikel ini saya buat berdasarkan analisa saya sendiri... entah ini cocokmilogi, atau apalah... Tapi begitulah yang saya tangkap.


AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.

Read more.....

Selasa, 27 Maret 2012

Meluruskan Kata-Kata Sansekerta

AUM SWASTIASTU, ….

Di kesempatan ini, saya akan mencoba menshare apa yang saya pelajari. Ternyata ada beberapa kosakata yang diplesetkan, sehingga kata yang semulanya bisa dicerna dengan mudah, diplesetkan/diplintirkan menjadi sesuatu yang ...wah...

Oke... kita mulai kata “Agama”... kata ini berasal dari bahasa Sansekerta, dimana artinya “Tidak kacau”, “tidak berlari”, “Diam”, “Kekal”... yang semuanya itu mengarah aturan-aturan tentang ketingkahlakuan, dan sering pula dapat diartikan “tradisi”.
Sementara kata “Kepercayaan”, lebih mengacu pada ke kata “Religi”. kata “Religi” ini ini berasal dari bahasa Latin, dimana artinya “Mengikat kepada sesuatu”.

Dari keterangan diatas, maka kita lebih peka... dalam menyandangkan kata-kata tersebut. Namun entah kenapa seolah-olah kata-kata tersebut setara, dan akhirnya dihantam begitu saja. Hindu, Buddha, kejawen, jainism... justru ajaran-ajaran itulah yang cocok disandangkan dengan kata “Agama”. Sedangkan Islam, Kristen... lebih cocok di sandangkan dengan kata “Kepercayaan”/Religi. Untuk lebih jelasnya, simaklah penjelasan berikut ini.

Ajaran Hindu, Buddha, kejawen, jainism... lebih dititik beratkan pada tingkah laku/sila. Jadi ia percaya, atau sekalipun ia tidak percaya ke suatu sosok, asal ia melakukan/percaya dengan cara-cara (paham-paham) seperti itu, maka ia sudah bisa diklaim bahwa dirinya menganut ajaran tersebut. Sehingga pada ajaran-ajaran ini, tidak terlalu mengubris siapa yang menyampaikan (Rsi), dan para Rsi pun mengakui ... bahwa yang disampaikan itu bukanlah hak milik mereka, melainkan itu adalah milik Brahman dimana sudah ada dan berifat kekal... mereka tinggal mempelajari, memahami, dan menyampaikannya. Jadi menurut hemat saya, ajaran Hindu, Buddha, kejawen, jainism... lebih cocok untuk disandangkan dengan kata “Agama”.

Sedangkan seperti yang saya katakan di atas.... Islam, Kristen...lah yang lebih cocok untuk disandangkan dengan kata “Kepercayaan”/Religi. Mengapa? Ya jelas to... kini kita ambil contoh Islam... Biarpun ada seseorang yang melakukan sholat 5 waktu, zakat, dll... tapi saat ia ditanya...darimana aturan-aturan itu anda peroleh.... ketika ia menjawab “Oh aturan-aturan itu, saya peroleh dari nenek saya dan saya anggap itu berguna”... maka orang tersebut tetap belum bisa disebut sebagai Islam. Ya kan...?? Ia harus menjawab dengan kalimat Syahadat terlebih dahulu... baru ia bisa bisa disebut Islam. Jadi mau gak mau.... orang yang mau jadi Islam haruslah Percaya (Mengikat drininya kepada) Allah, dan Muhamad. Begitu juga Kristen, mereka yang mau jadi Kristen haruslah Percaya (Mengikat drininya kepada) Allah, Yesus, dan Roh kudus.

Jadi kiranya cukup jelas paparan saya diatas... ajaran mana saja yang lebih cocok disebut agama, dan ajaran mana saja yang lebih cocok disebut “Kepercayaan”/Religi. Karena saya banyak melihat kesalahkaprahan... dimana orang-orang abramik... menganggap ajaran Hindu, Buddha, kejawen, jainism, dll...sebagai sebuah aliran kepercayaan. Lho... apa tidak kelirukah?

Kalau kita mau jujur, ajaran abramik lah yang mengajari kita untuk ber KKN... dimana kita dituntut melobi/menyenangkan suatu sosok, demi mendapatkan dispensansi-dispensansi khusus. Dimana walau kita melakukan kelakukan yang buruk, tetapi bila kita telah termasuk dalam koleganya...maka kita tidak akan tersentuh hukum lagi. Aneh Bukan?

Tapi saya yakin anda semua sudah pada cerdas, Model KKN adalah model yang tidak pernah terbukti langeng... pasti suatu saat akan terbongkar, dan kembali ke hukum yang benar benar yang tak pandang bulu... yaitu Hukum Karmapala.

Kemudian saya lanjutkan lagi, dengan kata “Tuhan”. Kata ini juga berasal dari bahasa Sansekerta, yang sebenarnya artinya sangat sederhana, yaitu “Mulia”, “Yang Mulia”. Tapi entah kenapa, lama-kelamaan menjadi sosok yang maha, bisa menciptakan alam, dan lain sebagainya. Sehingga bila kita luruskan ke arti semula, maka sesungguhnya, sesuatu yang dirasakan mulia/berharga, maka ia sudah bisa disebut dengan Tuhan. Misal: Ibu... Ibu bisa menjadi Tuhan...bila anak-anaknya merasa Ibunya mempunyai harga/nilai.

Ketika kita merasa bahwa itu berharga, maka secara otomatis, kita akan memberikan apresiasi/penghargaan terhadap sesuatu itu yg dirasakan berharga. Kegiatan pemberian penghargaan itu, sering kita sebut dengan “Sembah”. Dan kata “Sembah” pun akhirnya mengalami pergeseran... dimana seolah-olah... “Sembah” adalah sesuatu yg wah... dan merupakan keharusan. Padahal..kalau kita lihat... adanya Sembah berasal dari kesadaran...dimana itu sebagai ungkapan rasa bahwa... yang diberikan penghargaan terhadap... yang memang dirasakan punya nilai (bermanfaat).

Sehingga bila ada kalimat... “Tuhan meminta untuk disembah”. Sesuatu yang sangat konyol banget. Secara bahasa dan logika... sudah tidak nyambung... Mari kita telaah bareng-bareng... Ketika itu dinyatakan bahwa itu sebagai Tuhan... artinya itu...emang dirasakan bernilai. Karena sudah dirasakan bernilai, maka terjadilah ungkapan balik. Ungkapan balik inilah yang bisa kita sebut “Sembah”. Dimana kata “Sembah” berarti... Memberikan yang terbaik kepada...

Jadi...justru ketika ada kata “meminta untuk disembah”... Ini menjadi tanda tanya.... mengapa Ia meminta .... apakah Ia gagal dalam menciptakan rasa bahwa diriNya Mulia... atau Kenapa?

Sehingga kalimat yang pantas dan masuk akal, yaitu : Tuhan menyatakan bahwa dirinya berhak/layak/memperbolehkan untuk disembah. Dan bukan “mewajibkan untuk disembah”. Tapi sekali lagi... Ini bicara kalau Tuhan (yang mulia) nya sendiri yang bicara langsung... Namun kalau yang bicara itu pihak bukan Tuhan, maka sah-sah saja ...mau dia bilang “wajibkan untuk disembah”, “harus untuk disembah”, dll.

Seperti contoh: Ibu dianggap mulia, sehingga anak-anaknya merasa bahwa ibunya Tuhan. Sah to??? Terus... anak sulungnya mengeluarkan statement “Sembahlah Ibu.”... itu wajar, Tapi kalau Ibunya sendiri yang mengeluarkan statement “Sembahlah Aku(Ibu).”...terlebih-lebih kalau mengeluarkan statement “Sembahlah hanya ke Aku(Ibu).”... wah... ini yang harus dipertanyakan... mengapa beliau berkata demikian...

Mungkin itu dulu yang saya sampaikan... Semoga kita dapat meluruskan dan menempatkan kata-kata, sehingga mengurangi kesalahkaprahan kita. Artikel ini muncul atas diskusi saya dengan Mas Ngarayana. Terima kasih mas....

Dan tak lupa, Saya ucapkan Selamat Hari raya Nyepi... tenangkan diri anda, perhatikan alam... jangan kita selalu mengintervensi alam... biarkan dia Istirahat 1 hari saja....



AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.

Read more.....

Senin, 27 Februari 2012

Animisme dan Dinamisme Dari Sudut Pandang Veda

AUM SWASTIASTU, ….

“Hindu adalah Agama Berhala”, “Hindu adalah ajaran Animisme dan Dinamisme”, dan lain sebagainya... Begitulah kata-kata miring yang dilontarkan oleh kaum abramik. Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kita mengenal konsep ajaran Animisme dan Dinamisme. Kedua ajaran tersebut, pada intinya adalah mempercayai roh itu ada. Dan kata Animisme dan Dinamisme dari bahasa Latin, dari kata “anima” atau "roh". Namun perbedaan antara Animisme dan Dinamisme, terletak pada:
  • Animisme lebih mengarah ke roh yg abstrak (tidak bisa dilihat oleh indera mata biasa)
  • Sedangkan Dinamisme, lebih mengarah ke benda. Jadi benda tersebut diyakini ddiami roh/ ada penguasanya. Misal: Ada penguasa di pantai selatan, Cicin sakti, dll.
Dari Point awal, maka dapat dipastikan bahwa semua ajaran setuju terhadap adanya roh/energi. Namun bukan itu saja konsep ajaran Animisme dan Dinamisme. Berikut ini, akan saya sampaikan konsep-konsep yang lainnya, dimana antara lain :
  1. Dimana-mana ada roh² halus bermukim atau berkeliaran.
  2. Roh² halus dianggap lebih berkuasa dari pada manusia dan mengatur segala-segalanya.
  3. Nasib manusia ditentukan oleh roh².
  4. Roh² dibagi atas berbagai kelas yang ada hubungan dengan kekuasaan mereka.
  5. Roh² bisa mengganggu ketenangan manusia dalam berbagai hal dengan berbagai corak.
  6. Manusia dapat memohon pada roh² apa yang diinginkan. Untuk bermohon perlu adanya upacara² dan atau sesajen atau mantra tertentu.
  7. Biasanya dalam melakukan ritual, tidak bisa disimbolkan. Jadi harus Datang ketempat yg disakralkan.
  8. Roh bisa berpindah tempat.
  9. dll
Melihat konsep-konsep diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep ajaran Animisme dan Dinamisme, belum mengenal sebuah kesatuan atau dengan kata lain, belum mengenal kesamaan asal mereka (sang penguasa). Jadi... mereka yang menganut ajaran Animisme dan Dinamisme, menganggap sang punguasa itu berdiri sendiri-sendiri.

Dari Situ lah terjadi pemikiran, bagaimana ya kalau mereka (sang penguasa) ada crash, dan akhirnya terjadilah perang. Nah...inilah yang memicu kita untuk selalu mencari 1 sosok yang paling berkuasa... agar bila terjadi itu... ada yang menyelesaikannya.

Sedangkan di Veda... tidak seperti itu... memang tidak disangkal bahwa di suatu tempat ada roh atau ada sesuatu energi yang mendiami tempat tersebut. Namun... di Veda menerangkan bahwa mereka itu adalah sebuah bagian dari Brahman. Disini jelaslah sudah... bahwa mereka (sang penguasa) bukanlah berdiri sendiri-sendiri, melainkan mereka adalah bagian yang saling melengkapi, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan aktifitas Brahman.

Point konsep selanjutnya... dikatakan bahwa “roh² halus dianggap lebih berkuasa dari pada manusia dan mengatur se-gala2-nya”. Sedangkan di Veda, telah menerangkan bahwa kondisi kita ditentukan oleh kita sendiri, bukan oleh siapa-siapa.
Terlebih lagi... di Veda mengatakan semua atman/roh adalah sama, yang membedakannya adalah peran/lakon yang ia emban. Dari keterangan tersebut, maka ditemukan satu lagi perbedaan konsep.

Point konsep berikutnya... adalah bahwa “Manusia dapat memohon pada roh² apa yang diinginkan”. Ini mungkin harus diluruskan.... Sekarang saya bertanya “Bila anda bermasalah dengan hukum dan anda memohon grasi, maka pada siapa yang anda rujuk?”... Saya beri 2 opsi , “Kepada persiden kah? Atau kepada Pak SBY?”
Bila anda jawab...”ke Pak SBY”, maka anda mungkin telah termakan konsep ajaran Animisme dan Dinamisme, dan itu bukan konsep Veda. Kalau pada konsep Veda, Jelas bahwa Pak SBY itu sama seperti anda... Namun Pak SBY memiliki jabatan Presiden. Sehingga yang harus anda rujuk, itu adalah jabatan kepresidenannya. Darimana asalnya energi/jabatan kepresidenannya? Jawabannya adalah , Dari sebuah kesadaran yg besar untuk beraktifitas bernegara. Dan kesadaran tersebut menjelma (yang salah satunya) menjadi Presiden.
Sampai disini Paham kan? Artinya ditemukan lagi perbedaan antara konsep Veda dengan konsep ajaran Animisme dan Dinamisme.

Tidak bisa dipungkiri, didalam memohon atau merujuk ke salah satu energi/jabatan Brahman, kita harus melakukan ritual. Contoh kasarannya: Kalau kita memohon grasi ke presiden, maka mau gak mau kita harus melakukan prosedur-prosedur. Nah... timbullah pertanyaan “Haruskah pakai sesaji?”. Jawabnya, Tdak harus.
Mungkin perlu saya terangkan lagi arti dan tujuan dari Sesaji/sesajen. Sesaji/sesajen adalah Salah 1 bentuk kesadaran kita dalam menyajikan permohonan kita dengan cara mewujudkan dengan simbol-simbol, dimana tujuannya untuk mengurangi ketidaksempurnaan kita dalam menyajikan suatu permohonan.
Analoginya begini: ada seorang pemuda, yang ingin menembak/meminang gadis dambaannya. Ya... mungkin pemuda itu beru pertama kali melakukan itu, atau entah mengapa.... Ketika pemuda itu menjumpai gadis dambaannya, tiba-tiba pemuda itu menjadi sulit bicara (gugup). Dan akhirnya ia memyampaikan isi hatinya tidak cantik alias tidak bisa dimengerti oleh gadis tersebut. Tapi untunglah pemuda itu membawa sekuntum bunga, dan diberikannya pada gadis tersebut. Dengan begitu gadis tersebut bisa memahami apa yang ingin disampaikan oleh pemuda itu.

Dari analogi tesebut, terlihat bahwa Sekuntum bunga dapat mewakili isi pesan yang ingin disampaikan. Sehingga jelaslah arti dan tujuan dari sebuah sesajen.


Selanjutnya ada kebiasaan dari penganut Animisme dan Dinamisme, yaitu dalam melakukan ritual, tidak bisa disimbolkan. Jadi harus Datang ke benda/tempat yg disakralkan, dengan kata lain mereka membuat stikma bhwa tidak ada benda/tempat yang lain di dunia ini, yang memiliki keistemewaan yg dimiliki oleh benda/tempat yang mereka sakralkan.
Hal ini bila dipandang dari sudut Veda, kuranglah tepat. Karena dalam mengakses keistemewaan yg dimiliki oleh suatu benda/tempat tertentu, maka kita diijinkan untuk menyimbolkannya, bahkan kita diijinkan menduplikasikan benda tersebut dalam rangka untuk memudahkan kita dalam berkosentrasi guna mengakses keistemewaannya.

Misal: Diyakini bahwa abu jenasah akan suci bila terkena air gangga... maka kita cukup ke laut/pantai terdekat, bahkan bisa dengan air biasa... tentu dengan mantra2 khusus

Sekarang ada ajaran... yang berteriak anti konsep Animisme dan Dinamisme, tapi mereka malah melakukan pratek-pratek tersebut. Lucu bukan?


Konsep yang lainnya dari ajaran Animisme dan Dinamisme, adalah Roh bisa berpindah tempat. Hal ini selalu dihubungkan dengan Reinkarnasi. Tapi konsep Animisme dan Dinamisme, sangatlah beda. Dimana mereka beranggapan bahwa setelah orang meninggal, maka roh itu langsung bisa menjalani proses kehidupan baru tanpa melalui proses kelahiran terlebih dahulu.
Misal: ada orang meninggal, maka rohnya bisa langsung berpindah ke tubuh babi langsung tanpa melalui proses kelahiran terlebih dahulu.

Dengan adanya konsep ini, akhirnya kesurupan adalah bukti nyata. Sementara di Veda, menyatakan tidak ada istilah pergeseran atman. Lalu bagimana hal ini dijelaskan oleh Veda?
Di Veda, sudah dijelaskan bahwa hal yang mungkin terjadi itu adalah atma bisa dilapisi oleh kesadaran. Jadi orang kesurupan itu... adalah mengeser kesadaraannya... bukan atmannya. Mengapa kesadaraan kita dapat dikuasai oleh kesadaran yang lain?
Jawabnya, karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain:
  • Kesadaraan kita tidak kuat,
  • Rela untuk kesadaran kita tergeser oleh kesadaran lainnya,
  • menganggap bahwa kesadaran yang mengusai kita adalah kesadaran yg lebih baik daripada kesadaran kita sendiri,
  • dll.
Kesurupan pada era ini... sangat banyak terjadi. Misal: Sekarang banyak orang di indonesia yang berlagak orang Barat, Orang arab. Padahal bukan itu kesadaran murni (jati diri) kita. Itu juga termasuk, fenomena Kesurupan. Tapi tenang.... ketika kesadaran luar tsb mencoba mengusai kita, dan bila kesadaran luar tsb bertentangan dengan lakon kita, maka itu hanya bersifat sementara.

Kemudian upacara 3, 7, 40 hari, dst setelah orang meninggal, ini juga ajaran Animisme. Apakah bertentangan dengan Veda? Lihat dulu konsepnya... apabila itu dilakukan secara kesadaran untuk menghormati/memperbaiki efek-efek yang ditimbulkan oleh orang meninggal tsb... maka itu sangat direkomendasikan. Tapi apabila itu dilakukan karena takut, pamer, dll, maka lebih baik jangan dilakukan. Karena itu akan berefek negatif pada kita.

Semua Ritual Yadnya... harus dilandasi oleh kesadaran shg muncullah ketulusan. Bukan karena takut, bukan untuk pamer... Intinya menjaga kelangsungan timbal balik, agar kita bisa memerankan lakon kita secara baik sehingga bisa me-realisasi-kan apa yang kita inginkan.

Sekali-kali..kita coba berfikir terbalik... bayangkan kita itu adalah Tuhan...sehingga kita dituntut untuk adil dalam memberi perhatian kepada tumbuhan, hewan, manusia, dan semua aspek di alam ini. Ketika kita melakukan itu, maka object-object yang kita perhatikan tersebut akan memberikan respon timbal baik... misal: Tumbuhan yg kita perhatikan, memberikan kita buah terbaik. Ini pertanda bahwa tumbuhan tersebut telah melakukan Yadnya untuk kita, dengan cara membuahkan buah terbaik untuk kita.
Hal ini lah yang didorong oleh Veda... sehingga ada statement SO HAM (Aku adalah Tuhan). Ingat! Tuhan bukan lah Brahman.... Tuhan disini, adalah salah 1 penjelmanan dari Brahman, atau salah 1 aktifitas dari Brahman. Karena dengan berfikir spt diatas... maka Jelas kita telah melakukan salah satu aktifitas Brahman.

Jadi... Apakah Hindu adalah konsep ajaran Animisme dan Dinamisme? Dan saya menantang anda berlogika, apa bila konsep ajaran Animisme dan Dinamisme, saya ganti dengan 1 roh saja, maka konsep nya seperti konsep ajaran siapa ya?

AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.

Read more.....

Konsep Ke-Tuhan-an Veda

AUM SWASTIASTU, ….


Ada sebuah Ilustrasi yg cukup menarik, yaitu: Ada seorang yg kakinya buntung.... karena kecerdasannya maka dia mampu membuat kaki palsu. Shg ia mampu berjalan bahkan bisa berlari. Tapi kira2 mengapa orang2 dan bahkan dirinya sendiri, tetap menganggap bahwa dirinya masih cacat???
Jawabnya : Karena orang2 dan bahkan dirinya sendiri, masih menganggap bahwa kaki yang ia buat bukanlah bagian dirinya.
Hal ini hampir sama spt pemikiran ajaran abramik, dimana semua di alam semsesta ini merupakan ciptaanNya, dan bukan dianggap dari bagian dariNya. Kalau lah kita mau jujur, maka ini termasuk sebuah kecacatan. Entah itu kecacatan dlm Pemahaman, atau memang Tuhan secacat begitu? Saya tidak tau jelas... tapi itulah pemikiran mereka.

Bagi penganut Veda, Jelas semua adalah di dalam Tuhan. Konsep ini yg sering disebut dengan Panenteisme (bukan "panteisme"). Bedakan kedua konsep tsb, Kalau Panenteisme itu, adalah semua di dalam tubuh Tuhan, sedangkan panteisme adalah semua adalah Tuhan. [Tuhan disini kita anggap saja, adalah Brahman, Sebab kalau merujuk arti sesungguhnya kata "Tuhan"... kok kurang tepat, Monggo dibaca disini.]
Memang secara sepintas lalu, kedua konsep tsb terlihat sama..... namun kalau kita camkan betul... konsep Panenteisme lah yg sangat identik dg ajaran Veda... Shg saya, anda, dewa-dewa, bahkan semuanya merupakan bagian dari Tuhan (yg disebut dg Brahman).
Kata Brahman pun juga sering diplesetkan menjadi kata Brahma, bahkan menjadi dewa Brahma. Maka dengan kesempatan ini, saya akan membahas kata2 tsb. Persamaan kata Brahman, kalau di Sastra Veda, sering kali disebut dg TAT, sedangkan kalau di Matram2, Beliau diidentikkan dg kata AUM. Bila kita telusuri lebih dalam lagi pada Veda, maka jelas Brahman itu bisa bersifat Nirguna, maupun Saguna. Berkehendaknya Brahman untuk menjadi saguna, menyebabkan Beliau mempunyai pola/bentuk/wujud. Nah... Para Rsi melihat atau (bisa mendefinisikan) bahwa ada 3 pola/bentuk/wujud utama dari Brahman saat berlila (Lila=aktifitas/olahraga).
Mungkin anda telah tau tentang ke-3 pola/bentuk/wujud utama dari Brahman, dimana seringkali disebut dg TriMurti.... Tri (3), Murti (pola/bentuk/wujud). Tri Murti meliputi Brahma, Visnu, dan Siva. Hal ini... janganlah diartikan Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siva.... Jangan.... sebab ini... kita baru bicara ttg pola/bentuk/wujud Nya dari Brahman, belum bicara ttg penjelmaan.
Bila anda sulit memikirkannya.... saya akan berikan analoginya, spt halnya, ketika anda beraktifitas, maka anda bisa nyanyi, makan, dan tidur... tapi lain halnya klo kita bicara ttg adanya Tukang Nyanyi (orang yg ahli bernyanyi), Tukang Makan (orang yg hobby/ahlinya makan saja), dan Tukang Tidur (orang yg ahli tidur saja / malas).
Dari analogi tsb... mungkin sudah terpikir bahwa Brahma dg Dewa Brahma, itu lain to pemahamannya....Visnu dg Dewa Visnu, itu lain to pemahamannya.... serta Siva dg Dewa Siva, itu lain jg to pemahamannya.... Shg kalau membaca/melantunkan matram.... AUM NAMO SIVA.... maka kira2 apa yang kita rujuk? Tentu jawabnya... Bkn Dewa Siva, melainkan aktifitas Brahman yg menjadi Siva... atau kasarannya kita memohon agar energi pola Siva dilimpahkan ke kita... supaya kita bisa menghancurkan sesuatu yang kita anggap sbg pengganggu...
Sekarang ada pertanyaan buat anda.... Dalam membangun tiang cor, Kira2 energi apa saja yg kita butuhkan? Brahma (pencetus ide) sajakah? Visnu (menjaga kelangsungan selama proyek) saja? atau Siva (sang finishing) saja?
Mari... kita telaah bersama2... Dalam membangun tiang cor, maka awalnya kita butuh perencanaan (dimana tiang itu berada, apa saja yg dibutuhkan, besi, papan,dll)... Ide2 spt itulah yg kita sebut Brahma. Kemudian... setelah selesai dg konsep2nya... maka kita mulai merangkai besi2, menegakkan papan2, lalu memberi kayu2... shg cetakan cor akan bisa berdiri selama proses pengecoran... artinya kita butuh kekuatan untuk menjaga kelangsungan selama proyek pengecoran... Jelas energi Visnu lah yg beraksi.
Kemudian setelah proses pengecoran selesai , dan adonan semennya mulai dingin/membeku... maka papan2 & kayu2 yg mana pada awalnya didirikan dan dikokohkan...sekarang justru dirusak/dihancurkan.... maka pada saat ini, energi Siva sangat dibutuhkan...
Dari penggambaran diatas... sangat jelas bahwa apapun tujuannya... maka AUM (A=Brahma, U=Wisnu, M=Siwa)... merupakan kesatuan yg tidak bisa terlepas satu sama yg lain, dan kesatuan tsb lah merealisasikan segala yang dikehendaki...

Lanjut lagi kita pada purana2..bila kita simak ke 18 maha purana. Maka kita dapat lihat bahwa tidak ada yg paling berkuasa, paling hebat, tak terkalahkan.... semua lakon pasti punya masa2 menang dan masa2 tunduk kepada lakon yg lain... Hal ini menunjukkan, sdh ada pemikiran bahwa kita tidak patut membanggakan/menyembah ke salah satu lakon saja, melainkan kita harus melihat itu semua merupakan satu kesatuan dlm rangka menuntun kesadaran kita menuju ke tingkat yg lebih tinggi...

Kembali lagi ke kata Dewa...Dewa lebih diidentikkan pada suatu makluk, dimana makluk tsb membawa salah satu energi/polanya Brahman, shg muncullah kata Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa... artinya Energi tsb menjelma menjadi suatu makluk dg wujud yg sesuai dg kondisi alam. Shg begitulah jadinya.... bahkan dapat digambar spt arca sekarang ini...

Hal ini... mungkin menjadi cemoohan bagi orang abramik.... karena Tuhannya berwujud spt itu....
Kata Tuhan saja... bagi kita (pengikut veda) memiliki arti, Brahman yg sdh menjadi Saguna (berpola/ber-pratima). Shg terkadang...kita pun akan terjebak juga... akhirnya kata "Tuhan" disini disamakan dg keseluruhan Brahman (nirguna maupun saguna). Padahal ini jelas salah total...

Jadi... analoginya begini.... Dalam aktifitas, negara Indonesia mempuyai 3 pola aktifivitas, yaitu: Legislatif, Esekutif, Yudikatif.... disini orang2 indonesia pun jelas masih bingung... sebab akan timbul pertanyaan, apakah Legislatif itu? apakah Esekutif itu? dan apakah Yudikatif itu?
Shg perlu adanya sebuah penjelmaaan lagi... akhirnya timbulah kata "Badan Legislatif", "Badan Esekutif", "Badan Yudikatif"... disini, artinya pola aktifivitas negera sdh berbentuk badan/unit.
Tapi lagi2, orang2 indonesia masih bingung juga... sebab, pertanyaannya sekarang adalah Siapakah Badan Legislatif itu? Siapakah Badan Esekutif itu? Siapakah Badan Yudikatif itu?
Shg perlu adanya sebuah penjelmaaan lagi... akhirnya timbulah kata "Ketua MPR", "Anggota Dewan", "Presiden", "Mentri", "Hakim", dll... disini, artinya pola aktifivitas negera sdh berbentuk Personal.
Itupun, terkadang masih bingung juga... akhirnya timbullah pertanyaannya, Siapa sih Presiden nya? Siapa sih mentri2nya? Dll
Akhirnya oleh kesadaran Indonesia.... akhirnya Pak SBY menjabat Presiden.... shg dengan begitu...orang2 indonesia akan jelas dan paham....
Kemudian akhirnya fotonya Pak SBY dipajang di setiap instansi...

Terus...ada orang bodoh lihat fotonya Pak SBY... dan berkata ...hmmm begini to wajah indonesia.... Hal yg bodoh, bukan?
Lalu ada pertanyaan lagi buat anda.... ketika anda melihat fotonya Pak SBY... maka siapa kah yg anda rujuk untuk anda hormati? Pak SBY nya kah? atau Jabatan kepresidennya?
Kalau anda memilih "Jabatan kepresidennya", kira2 kenapa anda menghormati itu? Tentu jawabnya, karena anda menghargai salah satu penjelmaan kesadaran Indonesia.

Satu lagi, yg ingin saya bahas... yaitu Kata "Sembah". Lupakan sejenak adanya Brahman...anggap kita blm mengenal apa2. Maka... faktor apa yg menyebabkan seseorang itu melakukan penyembahan terhadap sesuatu? Tentu jawabnya, karena orang tsb sadar bahwa sesuatu itu pantas dihargai.... atau paling tidak, orang tsb sadar bahwa dia butuh akan sesuatu itu. Ya kan???
Artinya...kegiatan "Sembah" itu, pada dasarnya dilakukan secara kesadaran....
Namun karena keterbatasan kita dalam melihat efek dari sesuatu object...Shg kerap kali kita menganggap "ah... object tsb tidak berguna...ngapain aku hargai itu.". Tapi untung adanya Veda, dimana kita dipandu bahwa ada 5 komponen yang patut kita sembah, yaitu: Dewa, Rsi, Pitra, Manusia, dan Butha... sedangkan 5 komponen itu asalnya ya...ke Brahman lagi..... Shg pada sesungguhnya kegiatan sembah kepada siapapun (ke-5 komponen tersebut), pada intinya adalah kegiatan "Sembah" kepada Brahman (Hyang Widhi) yg mana itu dilakukan dg kesadaran....

Pada awalnya, Saya juga sering salah tangkap... antara Panca (5) Sembah dengan, Panca Nyadnya. Panca (5) Sembah bukan berarti 5 komponen yang patut kita sembah, melainkan ada 5 tahapan dalam mengaturkan sembah [Ingat... kata "Sembah" berarti memberikan sesuatu yg terbaik kepada..., Monggo dibaca disini.]
Sedangkan
Panca Nyadnya, menurut saya... lebih cocok diartikan 5 komponen yang patut kita sembah. Namun sekali lagi... Ingat...kata "Sembah" berarti memberikan sesuatu yg terbaik kepada.... Sebab sering kali, kita terpleset oleh kata-kata, dimana awalnya berarti sederhana... namun seiring asimilasi...akhirnya menjadi /berarti wah...

Ini juga sering kali jadi bahan cemoohan bagi abramik.... Tapi klo dia mau jujur dan mau berpikir... bagaimana kah cara Tuhan dalam berkerja? Sendirikah? atau Dia mengerakkan bagian2Nya? Ini sering kali, membuat saya geli akan pemahaman mereka... padahal jelas2 di Quran.. Setiap beliau bekerja, maka Beliau menyebutnya diriNya dg "Kami", sedangkan di Alkitab, Beliau menyebutnya diriNya dg "Kita". Jelas ini menyatakan sebuah system, Kalau bicara "System", maka pasti ada lebih dari satu komponen. Kalau sdh tau, bahwa ada lebih dari satu komponen...maka komponen yg mana yg harus kita hargai? Ya... kalau kita mau dewasa, tentu semua komponen ya harus kita hargai...

Namun saya harus akui..bahwa untuk memicu kesadaran, terkadang kita butuh hantaman, iming2, dsb.... Namun bila sdh punya kesadaran.. maka kita tidak butuh ajaran2 semacam itu... Jadi lakukanlah atas kesadaran.... Contoh kecil:
-ada orang tua... melihat akan itu... kita tergetar untuk membantunya. Dan ketika ditanya mengapa? Tentu jawabnya, Ini sdh jadi tugas saya, karena saya adalah bagian Brahman.

Tapi bagi orang yg blm cukup kesadarannya.... maka agar mau menolong, harus pakai perintah atau iming2 atau ancaman. Shg klo ditanya, mangapa anda menolong orang tua itu? Tentu jawabnya, ya karena... salah satu faktor diatas... klo tidak perintah, ya iming2, atau ancaman.


Di Veda, tidak pernah mengatakan bahwa ada suatu lakon/aksi yg bersifat kesia2an. Semua ada pesan/tujuannya, yg mana untuk menggetarkan bagian lain... Sedangkan di Abramik... ada perbuatan yg dianggap sia2.... dimana perbuatan itu yg dilakukan oleh setan....Jadi konsep Ruawbineda jelas tidak ada di abramik.... Jadi pemahaman mereka itu, adalah Putih itu Allah, Hitam itu Setan. Sementara di Veda, Ruawbineda adalah kesatuan...dan itu semua dikuasai oleh Brahman.
Ini yg membuat semakin kabur, esensi dari kehidupan bagi ajaran abramik. Karena jelas...bagi ajaran abramik, Hidup adalah cobaan/test saja. Tapi di Veda, Hidup itu bertujuan merealisasikan keinginan. Sehingga kita disini untuk bekerja, bekerja untuk Brahman.
Ini kalau diumpamakan, kita spt telapak tangan.... lihat... ketika kita ingin membersihkan kedua telapak tangan kita dari debu... maka kita sengaja untuk mengadukan ke dua telapak tangan kita...plok...plok...plok...shg debunya bejatuhan dan bersihlah kedua telapak tangan kita.
Lihat...lebih dalam lagi... maka kita bisa lihat... bahwa kedua telapak tangan kita seolah saling menghajar/memukul.... ya seperti anda dg musuh anda,
Shg itu terjadi... maka kita tidak perlu dendam...anggap itu sesuatu yg digariskan oleh Brahman.... Lakukan secara dharma... Bila itu anda anggap yg terbaik, maka kerjakanlah....

Ini seperti yang dikisahkan pada purana-purana. Dimana Narasinga harus bertemu dengan Hiranyakashipu, Rama harus bertemu dengan Rahwana, dan Kresna harus bertemu dengan Kamsa.
Sementara Kedua tokoh di ketiga babak cerita tsb, ya ...itu itu saja. Artinya Narasinga, Rama, dan Kresna adalah penjelmaan Visnu... dan Hiranyakashipu, Rahwana, dan Kamsa adalah penjelmaan dari abdinya Visnu...
Hal ini menunjukkan, jelas aktor yang melakukan kejahatan... dan itu adalah lakon/tugasnya.

Mungkin anda bertanya, mengapa ada aktor yg mau memerankan kejahatan? Ini sekali lagi, seperti halnya buruh petani yg harus bermain dg lumpur sawah. Kalau secara nalar, maka apakah buruh petani itu bodoh sekali? Kalau lah itu memang tugasnya, mengapa buruh petani itu harus bersih-bersih dulu sebelum ia pulang? Bukankah harusnya kekokotoran yang dibawa oleh buruh petani itu dapat dimaklumi?
Dari analogi tsb, mungkin dapat membuka wacana/pandangan kita dalam melihat sesuatu yg berlawanan dg lakon kita, dimana sering kita identikkan dg istilah “Musuh Kita”. Sedangkan interaksi kita dg “Musuh Kita” adalah sebuah getaran yg menggetarkan pihak lain untuk bekerja.

Jadi sadarlah.... tidak ada sesuatu pekerjaan yg sia-sia... karena semua itu adalah kehendak dari Brahman.

AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.


Read more.....

Rabu, 11 Agustus 2010

Pura Ponco Sono Giri

Pada tanggal 26 Juli 2010…Pura ini melaksanakan piodalan dimana bertepatan juga dengan rampungnya renovasi padmasana. Saya sendiri saja agak mengkuatirkan usaha ini, karena para pengempu pura ini boleh dikatakan kelas ekonomi menengah kebawah (termasuk saya sih… hehehehe). Tapi sekali lagi oleh kekuatanNya dan usaha pengempu pura maka jadilah perenovasian padmasana pura ini.


Pura ini membawa nilai tersendiri bagi saya pribadi, karena di tempat inilah saya dibersihkan dan menyadarkan saya tentang karma saya yang sangat hina. Dengan model yang sederhana, membuat hati saya terenyuh… Beliau yang mulia, agung saja mau duduk di kursi yang sederhana begini… mau mendengarkan keluhan orang-orang yang tidak berkelas begini. Sungguh pura ini dapat melukiskan kemahaanNya… Maha segalanya untuknya.


Sejerah pura ini sangat atik… di sekitar pura ini terdapat sebuah punden yang dipercayai oleh masyarakat disekitar sana sebagai peninggalan kerajaan. Jadi tiap hari tertentu maka semua masyarakat itu berkumpul dan membawa sesajen. Melihat gelagat/corak masyarakat itu, maka PHDI mencoba untuk meluruskan agar ritual-ritual yang beresensi suci tersebut agar tidak disalah gunakan.


Namun usaha tersebut tidak mudah seperti membalikkan tangan saja. Banyak rintangan-rintangan dari saudara-saudara kita yang beropini bahwa itu adalah langkah melegalkan kemusrikan. Namun karena kegigihan dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan umat Hindu, maka direstuilah pembangunan pura di area punden tersebut oleh Bapak Camat saat itu… Astungkara deh… terwujudlah satu rumah lagi untuk Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga umat/masyarakat di sekitar pura tersebut yang hendak berexpresi mengabdi kepadaNya, tidak usah jauh-jauh. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa umat dari non Hindu yang tetap taat untuk mengaturkan sesajen di punden itu.





















*)

Karena saya tidak bisa memberikan alamatnya dengan jelas, maka saya akan memberikan memberikan point GPSnya. BT = 112,702729°, LS = 7,277650° - Ini adalah posisi tepat saya bersembahyang (Lihat Peta). Saya mengharap bagi yang membaca postingan ini atau umat Hindu, maka kunjungi pura ini, dan jangan lupa Bantulah pura ini dengan kemampuan anda miliki, bisa dengan pikiran, tenaga, kasih, ataupun harta.



Read more.....