Minggu, 15 April 2012

Memahami Konsep-Konsep Hindu

AUM SWASTIASTU, ….

Mungkin yang saya alami, pernah juga dialami kebanyakan orang. Di Hindu Indonesia, begitu populernya kata Siwa... Hingga muncullah kata Paramasiwa, Sadasiwa, Iswara (dimana bisa diindentikkan dengan Siwa), Dewa Siwa sendiri, Mahadewa (juga bisa diindentikkan dengan Siwa),... ah pokoknya macam2 deh.... Dan akhirnya ..timbullah pertanyaan, Betulkah Siwa merupakan yang Ter...

Setelah saya lihat-lihat (baca) dari beberapa referensi... ternyata Kata “Siwa”...bukan hanya merujuk ke sebuah sosok, melainkan spt kata yang punya makna lebih dari satu arti. Mungkin anda masih bingung..Oke..saya coba beri analogi... seperti kata “Bisa”... kata ini bisa berarti Racun, dapat juga berarti, mampu/dapat.
Lalu apa arti kata Siwa? Siwa, kalau dianggap kata kerja, maka dapat berarti, melebur, merusak, memberi restu, Mengakhiri, Menyelesaikan, Menjadikan. Dan Kalau dianggap kata Sifat, maka dapat berarti, malas, Bodoh, dll (atau Tamas). Dan Kalau dianggap kata Benda, maka dapat berarti, pelebur, perusak, pemberi restu, Yang mengakhiri, Yang menyelesaikan, Yang Menjadikan, udara/angin/gas. Dan kalau disimbolkan dalam bentuk warna, maka Siwa disimbolkan dengan warna Hitam.

Dengan Uraian diatas, tentu... anda bisa menelaah arti sebuah kalimat yang menggunakan kata Siwa. Melihat...begitu komplex nya arti Siwa, maka menjadikan Siwa adalah sesuatu yang pantas menduduki posisi tertinggi... Namun sekali lagi.. Siwa belum bisa dijadikan sesuatu untuk menggambarkan Brahman secara komplit. Dari sini apa sdh paham?

OK.. kita lanjutkan lagi, dengan Tri Purusa. Di konsep Tri(Tiga) Purusa(Jiwa), mengenal istilah-istilah, Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Setelah saya analisa... maka konsep ini sebenarnya untuk mengambarkan status dari suatu bagian (jiwa) dari Brahman. Jadi ada suatu bagian dari Brahman, yang berstatus Paramasiwa, ada pula yang berstatus Sadasiwa, dan yang terakhir, ada pula, suatu bagian dari Brahman, berstatus Siwa.

Paramasiwa... Kalau diartikan sekali, maka bisa diartikan “Parama(Sumber) nya Siwa”, atau “Parama(Paling Berkuasa) dari siwa”. Dari Sini...dapat dibayangkan... bahwa ketika... suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang masih berstatus Paramasiwa.... maka Jiwa tersebut belum mempunyai pola apa-apa (dalam artian, kita sulit untuk menamai pola tersebut)... dimana ini sering kita sebut dengan, Brahman Nirguna. Jadi Paramasiwa itu sama dengan, Brahman Nirguna, atau setara juga dengan Paramatma, atau setara juga dengan Parameswara. Dan kalau ini disimbolkan dengan tempat/loka… maka Paramasiwa itu berlokasi di Swah Loka.

Kemudian... Sadasiwa. Ketika... suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang sudah berstatus Sadasiwa.... maka Jiwa tersebut telah mempunyai pola. Sehingga para rsi pun dapat mendefinisikan ke Tri(3) Murti(Pola/wujud), yaitu ada yang berpola sebagai Brahma, ada pula yang berpola sebagai Wisnu, dan ada pula yang berpola sebagai Siwa. Oleh karena itu... Sadasiwa itu sama dengan, Brahman Saguna... Dimana dengan pola-pola yang sedemikan rupa, yang masing-masing sudah memiliki kapasitas energi yang berbeda-beda..... maka tak jarang juga orang-orang bijak... melukiskan Sadasiwa dengan kata “Wisnu”. Dan kalau ini disimbolkan dengan tempat/loka… maka Sadasiwa itu berlokasi di Bwah Loka.

Seperti kata “Siwa... maka kata “Wisnu” pun juga memiliki arti banyak juga. Antara lain: bila itu dianggap kerja, maka dapat diartikan, memelihara, memberi kekuatan/energi/kekayaan. Dan Kalau dianggap kata Sifat, maka dapat berarti, Tenang, lembut, indah, dll (atau Satwam). Dan Kalau dianggap kata Benda, maka dapat berarti, pemelihara, pemberi kekuatan/energi/kekayaan, air. Dan kalau disimbolkan dalam bentuk warna, maka Wisnu disimbolkan dengan warna Putih.

Sedangkan kata "Brahma", bila itu dianggap kerja, maka dapat diartikan, memicu, mencipta. Dan Kalau dianggap kata Sifat, maka dapat berarti, Ambisius, cepat, lincah, dll (atau Rajas). Dan Kalau dianggap kata Benda, maka dapat berarti, pemicu, pencipta, api. Dan kalau disimbolkan dalam bentuk warna, maka Brahma disimbolkan dengan warna Merah.

Kembali ke Tri Purusa... dimana yang terakhir adalah Siwa. Siwa disini ... ya adalah kita-kita ini yang menempati Bhur Loka (Bumi/planet2 yg lebih dominan berunsur tanah). Jadi dengan kata lain... suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang mengisi Bhur loka, merupakan Siwa. Sehingga tak jarang... orang-orang bijak... melukiskan kita-kita ini, sebagai titisan/penjelmaan dari Siwa. Karena kita bisa menjadi sang executor (front-end) dari kehendak Brahman. Dan kita pun bisa menjadi sang pemicu, sehingga tak jarang pula, orang-orang bijak... menyebut status ini, dengan sebutan "Brahma Siwa".

Dari Uraian diatas... kiranya cukup jelas...perbedaannya, Siwa dalam kontex Tri Murti, dengan Siwa dalam kontex Tri Purusa. Lalu ada juga istilah... Tri Kona, dimana saya rasa hal itu serupa seperti Tri Murti. Namun perbedaannya terletak... Kalau Tri Murti, lebih diarahkan pada penggambaran pola aktifitas Brahman. Sedangkan kalau pada Tri kona, lebih diarahkan pada alur (recycle) kehidupan/kejadian. Dimana Tri Kona meliputi, Lahir/Muncul (utpeti, yang bisa dilukiskan dengan kata “Brahma”), Hidup/Bertahan (stiti, yang bisa dilukiskan dengan kata “Wisnu”), dan Mati\Lenyap (Pralina, yang bisa dilukiskan dengan kata “Siwa”).

Jadi sekali lagi cara memahami Tri Purusa, persis seperti Catur Warna, dimana kalau Catur Warna itu untuk mengambarkan status dari bagian penduduk di suatu daerah. Jadi misalnya, sebagian Warga negara Indonesia, ada yang berstatus Brahmana, ada pula yang berstatus Kstaria, ada pula yang berstatus Wasya, dan ada pula yang berstatus Sudra. Dari sini... bila sesorang yang telanjur telah menjadi Sudra... bukan berarti selama nya ia akan tetap menduduki sudra terus, dan sebegitu sebaliknya.... bila sesorang yang telanjur telah menjadi Brahmana... bukan berarti selama nya ia akan tetap menduduki Bramana terus.
Persis seperti Tri Purusa... dimana ketika ada suatu bagian (Jiwa) dari Brahman, yang telah terlanjur berstatus siwa... maka bukan berarti selama nya Jiwa tersebut akan tetap berstatus siwa terus. Dan sebegitu sebaliknya....
Sehingga Naik atau turunnya status dari jiwa itu.... ya dikarenakan oleh kehendaknya sendiri. Kalau saya lebih suka dengan istilah... karena ikut terprovokasi... sehingga menyebabkan jiwa itu tergerak. Coba kalau tidak ikut terprovokasi... ya tentu disitu-situ aja. Hal ini kalau dianalogikan, seperti Demo... kalau anda sudah terprovokasi... maka anda akan rela ikut demo itu. Kalau gak... ya anda bisa duduk santai dirumah... gak ikut teriak-teriak... Ya kan?

Oleh karena itu... oleh orang-orang bijak... Sang Buddha itu mengajarkan sifat-sifat Siwa, dimana orang dituntut untuk malas. Malas disini... lebih mengarah pada tidak mudahnya untuk terprovokasi... Hal ini bagaikan orang yang malas (mau tidur), meskipun dia ditawari makanan enak pun... maka ketika itu dianggapnya tidak urgent(penting) sekali... maka ia tidak tertarik sama sekali. Dan melanjutkan tidurnya.

Melihat seluruh keterangan diatas, tentu anda akan berpikir bahwa Brahma, Wisnu, Siwa bukanlah sosok to... sehingga memunculkan pikiran bahwa Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa adalah sosok fiktif to...
Pikiran tersebut ya kuranglah tepat juga... Kini perhatikan analogi dibawah ini:

Tentu kita memahami kata “Dokter”... Lalu kita juga pernah melihat juga ...Pak/Bu Dokter. Sekarang kita korelasikan kata-kata diatas. Mengapa ada orang (Bapak/ibu) dapat gelar “Dokter”? Dan ketika seseorang telah mendapatkan gelar “Dokter”, apakah ia dapat dipersamakan/merupakan “Dokter” yang Absolut?
Kata “Dokter” saja, ...maka saya anggap sebagai sesuatu yang Absolut. Dimana Dokter, bisa melayani (mengobati) seluruh orang yang sakit (pasien). Namun ketika itu... Menjadi Pak/Bu Dokter, maka bisakah seperti “Dokter” yang Absolut? Tentu jawabnya.... Ya tidak mungkin.
Tapi apakah ini berarti, Pak/Bu Dokter itu telah gagal menjadi “Dokter”? Jawabnya... ya tidak juga... Dia tetap bisa membutikan bahwa dirinya adalah dokter... Ia bisa melayani (mengobati) orang yang sakit (pasien). Namun sekali lagi, kalau dituntut untuk melayani (mengobati) keseluruhan orang yang sakit ( = keabsolutan)... ya tentu tidak akan bisa. Ya khan???

Seperti itu juga... antara kata “Brahma” dengan “Dewa Brahma”, antara kata “Wisnu” dengan “Dewa Wisnu”, antara kata “Siwa” dengan “Dewa Siwa”. Jadi apakah Dewa Siwa itu memang ada? Jawabnya...Ya, emang ada. Kalau gak ada...Bagaimana orang menggambarkannya? Tentang percaya atau gak... itu sama halnya.. Bagaimana cara anda memastikan, kalau Ibu RA Kartini itu memang ada (non-fiktif), wong anda, saya, dan mungkin semua orang ...ya tidak pernah ketemu langsung?? Tentu jawabnya.. kepercayaan itu diperoleh dari info-info yang berasal dari orang-orang yang bisa kita percaya ( memiliki authorisasi).
Sama tho... tentang Dewa-dewa... hal itu bukan diceritakan oleh kalangan hindu saja... tapi Buddha pun (yang notabene, menentang pandangan-pandangan kaum Brahmana) saja, juga mengakui keberadaan dewa-dewa. Artinya Sosok seperti itu, memang ada... Entah bagaimana cara mereka melihatnya.
Ya... Seperti... Bagaimana anda menyakini kata orang-orang Spiritual, dimana di Pohon jambu ada pocong? Padahal anda sendiri, gak melihatnya... Sehingga sekali lagi, ini menyangkut kreditibilatasi orang yang menyampaikannya.

Kembali lagi ke uraian diatas, ... Apakah dewa Brahma adalah Brahma yang Absolut? Apakah dewa Wisnu adalah Wisnu yang Absolut? Apakah dewa Siwa adalah Siwa yang Absolut? Tentu jawabnya.... Ya tidak mungkin.
Namun ... apakah Dewa Siwa gagal menjadi Siwa? Jawabnya... ya tidak juga... Kalau emang gagal... maka makluk itu tentu tidak bakalan akan mendapatkan (gelar) pengakuan seperti itu donk... Ya tho...
Kemudian... tentu anda akan bertanya lagi... ketika Dewa Siwa bukanlah Siwa yang absolut, maka mengapa sosok(penggambaran)nya, bisa dijadikan media untuk mengakses Siwa yang absolut?
Hal ini.. sama halnya seperti, kita butuh Dokter... maka langkah awal ..ya mencari penjelmaan dari Dokter, dimana penjelmaannya adalah Pak/Bu Dokter. Apakah tidak begitu... logikanya?
Dan kita tentu akan lebih sreg... bila kita bisa ketemu langsung (tatap muka) dengan Pak/Bu Dokter. Kemudian dengan mengetahui atribut-atribut Pak/Bu Dokter (seperti Seragam putih, membawa stateskop, dll), maka paling tidak kita lebih sreg... dalam memohon bantuannya dalam bidang kedokteran.

Jadi jelas sudah... mengapa arca dewa siwa, bisa dijadikan media untuk mengakses Siwa yang absolut. Akan tetapi bila anda sudah mengenal Siwa yang absolut, tentu media-media untuk mengakses itu, bisa kita lewati/skip. Artian kata... arca-arca itu ya tidaklah harus ada/dipakai.

Mungkin terbesit lagi, dipikiran anda... meskipun kita telah mengenal/mampu mengakses, Siwa yang absolut, Namun tetap saja Siwa... belum bisa dijadikan sesuatu untuk menggambarkan Brahman secara komplit. Jadi Ngapain kita mengakses, Siwa yang absolut? Jawabnya... terletak pada kata "Keabsolutan" itu... jadi apapun pola Brahman, entah itu... pola Brahma, pola Wisnu, atau pola Siwa... Saat kita telah mengenal/mampu mengakses, salah satu saja dari ketiga pola diatas secara Totalitas (absolut), maka artinya kita pun telah mengenal/menyatu dengan Brahman.
Lagipula dengan adanya pilihan pola-pola energi Brahman... tentu ini sebuah kebebasan kita, dalam memilih/memanfaatkan pola energi Brahman yang pas buat kita, dalam menuju keabsolutan.


AUM SANTI… SANTI… SANTI…AUM.